A. Pengertian Paradigma.
Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan.Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Istilah paradigma ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul” The Structur of Science Revolution ”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Khun, ilmu dapat berkembang secara open-ended ( sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan).Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn, faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Secara singkat pradigma dapat diartikan sebagai ” keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)”.
B. Tahap – tahap Perkembangan Ilmu ( Progress Sains ).
Skema progress sains menurut Khun adalah sebagai berikut :
Pra paradigma - Pra Science - Paradigma Normal Science - Anomali - Krisis Revolusi - Paradigma Baru - Ekstra Ordinary Science- Revolusi.
Tahap – tahap perkembangan ilmu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Tahap Pra paradigma & Pra Science.
Pada stage ini aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir sebab tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena). Dari sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu dan di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri. Hal semacam ini berlangsung selama kurun waktu tertentu samapai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua aliran yang dianut ilmuan tersebut dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat mengatasi ketergantungan observasi pada teori.
2.Tahap Paradigma Normal Science.
Para tahap ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut didalamnya tercakup :
• Komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Contoh, hukum “gerak” Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
• Cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berba gai tipe situasi.
• Instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
• Prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
• Keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan statu hukum. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian science faktual, yaitu :
1. Menentukan fakta yang penting.
2. Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; ( seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu memecahkan masalah tersebut ).
3. Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja.
Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagaikelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma.
Dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.
3. Krisis Revolusi
Sasaran normal science adalah memecahkan teka-teki science dan bukan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya akan muncul gejala-gejala baru yang belum terjawab oleh teori yang ada. Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan anomali antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, serta anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang dapat menggoyahkan paradigma jika :
1. Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
2. Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Setiap krisis selalu diawali dengan pengkaburan terhadap paradigma yang ada serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada tahap ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan sebab tidak ada argumen logis yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigma. Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan individual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan“Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan “religious conversion” (pertukaran agama). Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil paradigma yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
a) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
b) Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan.
Oleh karena itu, para pendukung paradigma tidak akan saling menerima premis lawannya dan karenanya masing-masing tidak perlu dipaksa oleh argumen rivalnya. Menurut Kuhn, faktor-faktor yang benar-benar terbukti efektif yang menyebabkan para ilmuan mengubah paradigma adalah masalah yang harus diungkap oleh penyelidikan psikologi dan sosiologi. Karena hal itulah Kuhn dianggap sebagai seorang Relativis.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science.
Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner,yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek matter dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan. Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya dan berhasil mengatasi permasalahan itu maka revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
FILSAFAT SOSIOLOGI RITZER
Filsafat Sosiologi
( Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi Menurut Ritzer)
Syamsuddin Simmau
A. Pendahuluan
Diskursus sosiologi sebagai ilmu dan paradigma sosiologi dalam sudut pandang filsafat merupakan hal yang menarik untuk didalami. Sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat memiliki cakupan yang sangat luas, ia meliputi seluruh proses interaksi manusia secara subjektifitas dan intersubjektifitas. Karena itu, wajar jika Pitirim A.Sorokin (1947) menyebutnya superorganic karena sosiologi meliputi seluruh proses interaksi manusia dan hasil dari proses interaksi yang telah dilakukan manusia.
Demikian, kiranya cukup beralasan jika paper ini dibatasi pada pembahasan tentang Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi. Secara garis besar pembahasan ini mendeskripsikan beberapa pendapat mengenai sosiologi sebagai ilmu secara substantif dan juga mengenai tiga paradigma soiologi menurut George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2010).
Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk kembali merefleksi sosiologi secara historis dari zaman Yunani atau zaman Abdul Rahman Ibnu Khaldun, namun paper ini lebih memusatkan perhatian pada teori-teori sosiologi yang mengacu pada konsep-konsep yang dikembang Ritzer, yang ia sebut sebagai paradigma sosiologi. Paradigma sosiologi dimaksud adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Ketiga paradigram tersebut saling berkorelasi dengan grand theorysosiologi sebagai landasan sampai pada teori-teori sosiologi post-modern. Secara gamblang, Ritzer menjelaskan tiga paradigma tersebut dalam bukunya Sosiologi:Ilmu Berparadigma Ganda. Penjelasan mengenai paradigma ini juga dapat dijumpai pada Teori Sosiologi Modern (2010)yang ditulis George Ritzer dan Douglas J. Goodman.
Setelah melalui proses presentasi dan diskusi di dalam kelas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Arlina Gunarya, M.Sc, paper ini mengalami penyempurnaan tentang landasan filosofis Ritzer menurut persfektif filsafat ilmu sebagai respon positif terhadap saran dan tanggapan Dr. Arlina serta masukan dari rekan-rekan satu kelas. Karena itu, paper ini menyajikan Jejak Filosofis Ritzer dalam merumuskan pardigma integratif sebagai paradigma baru yang bersifat terbuka.
B. Pembahasan
1. Sosiologi sebagai Ilmu
Para ilmuwan telah jamak menganggap bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan (mater scientiarum). Pada mulanya, semua ilmu bermula dari filsafat. Demikian pula halnya dengan ilmu tentang masyarakat yang dikenal sebagai sosiologi. Setelah melalui perkembangan, seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, banyak ilmu memisahkan dari dari filsafat.
Astronomi (ilmu perbintangan) dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama-tama memisahkan diri dan selanjutnya mengalami perkembangan menuju tujuannya masing-masing. Ilmu kimia, biologi dan geologi kemudian juga memisahkan diri dari filsafat. Kemudian pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru muncul, yaitu; psikologi dan sosiologi (ilmu yang memperlajari tentang masyarakat).
Soerjono Soekanto (1995;4) menjelaskan bahwa seorang ahli filsafat bangsa Prancis bernama Auguste Comte (1798-1957) telah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan umum yang digunakan untuk mempelajari masyarakat. Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan memiliki urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai tahapan ilmiah. Karena itu, setiap penelitian tentang masyarakat harus ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Comte menggunakan istilah sosiologi yang berasal dari kata Latinsocius yang berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan demikian, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Disini, Comte menekankan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan kemasyarakat umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lainnya.
Sementara itu, George Ritzer & Douglas J. Goodman (2010:5) mengingatkan kembali bahwa sebenarnya sosiologi telah berkembang sejak zaman Yunani. Dan, salah satu hal penting yang patut dicatat adalah bahwa nama Abdul Rahman Ibnu Khaldun yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 juga diakui Ritzer sebagai seorang sosiolog, selain pelopor sosiologi seperti; Karl Marx (Jerman), Max Weber (Jerman), Emile Durkheim dan Goorg Simmel. Ritzer memandang bahwa pandangan Ibnu Khaldun tentang masyarakat mirip dengan sosiologi zaman sekarang.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat dideskripsikan bahwa filsafat dan sosiologi memiliki kedekatan yang erat sebagai ilmu pengatahuan. Jika dikaitkan dengan pandangan Comte yang menegaskan tentang pentingnya tahapan ilmiah dalam melakukan studi tentang masyarakat maka sosiologi secara konsisten juga sekaligus menjadikan filsafat sebagai sebuah pendekatan ilmiah yang menyaratkan metode berfikir ilmiah sebagai landasan penting dalam penelitian dan pendekatan-pendekatan mengenai masyarakat. Artinya, pendalaman tentang sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakatsangat penting dilakukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Suryo Ediyono dalam Buku Ajar Filsafat Ilmu (2010: 3) bahwa filsafat sebagai cara berfikir refleksi (mendalam),penyelidikan menggunakan alasan, serta berfikir secara hati-hati.
Pitirin A.Sorokin dalam Society, Culture, and Personality (1947:3-7) memiliki pandangan tersendiri mengenai studi tentang masyarakat. Disini Sorokin menggunakan istilah superorganic. Istilah superorganic yang dimaksud adalah sosiologi. Dia berangkat dari penjelasannya bahwasuperorganic sejajar dengan seluruh karsa dan rasa dengan manifestasi-manifestasi yang dikembangkan dengan jelas. Dalam hal ini penomenasuperorganic meliputi bahasa, ilmu pengetahuan dan filsafat, agama, seni rupa, arsitektur, musik sastra, drama, hukum dan etika, moral dan perilaku, pengembangan teknologi, domestikasi, bahkan pelatihan binatang dan sebagainya. Superorganic ditemukan dengan jelas pada interaksi manusia dan produk-produk dari interaksi tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sosilogi adalah ilmu tentang masyarakat yang meliputi seluruh interaksi yang terjadi serta produk yang tercipta sebagai hasil dari keseluruhan proses interaksi yang terjadi.
2. Paradigma Sosiologi
Menurut Ritzer dan Goodman (2010), ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi yang berpotensi untuk mencapai status paradigma. Ketiga paradigma itu adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
2.1. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial menggunakan model karya Emile Durkheim terutama dalam karya Durkheim mengenani The Rules of Sociological Method dan Suicide. Menurut Durkheim, fakta sosial atau struktur dan institusi sosial memiliki skala yang luas meliputi tidak hanya pada penomena fakta sosial semata tapi juga memusatkan perhatian pada pikiran dan tindakan individu.
Dalam hal ini, teori struktural fungsional dipandang memiliki peran yang signifikan karena cenderung berkarakter stabil sehingga lebih mengacu pada konsesus umum. Sedangkan teori konflik lebih menekankan pada instabilitas (kekacauan) antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui aturan dan hukum yang memaksa masyarakat. Teori lain yang termasuk mendukung paradigma ini adalah teori sistem.
2.2. Paradigma Definisi Sosial
Model yang dominan dalam paradigma fakta sosial adalah teorisocial action karya Max Weber. Karya ini membantu mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka. Ia juga membantu dalam mempelajari pengaruh definisi sosial terhadap tindakan sosial dan interaksi yang terjadi selanjutnya.
Metode yang cenderung digunakan oleh mereka yang menganut paradigma ini adalah metode observasi ketimbang metode lainnya. Meski demikian metode interview-kuesioner juga menjadi bagian integral dari paradigma ini.
Ada beberapa teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial, seperti teori tindakan, interaksionisme simbolik,fenomenologi,etnometologi, dan eksistensialisme.
2.3. Paradigma Perilaku Sosial
Model dasar yang digunakan paradigma perilaku sosial adalah karya psikolog B.F. Skinner. Karena menurut penganut paradigma ini, masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tidak dipikirkan. Paradigma ini mengacu pada pemberian reward dan punishment.
Teori yang relevan dengan paradigma ini adalah teoribehaviorisme sosial dan teori pertukaran. Kedua teori ini mendonominasi para penganut paradigma perilaku sosial. Dengan demikian, metode yang sesuai adalah metode eksperimen.
2.4. Menuju Paradigma Integratif
Berdasar pada ketiga paradigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, Ritzer mengajukan gagasan tentang paradigma sosial integratif. Menurutnya, model paradigma ini mampu menjelaskan kesatuan realitas makro objektif, seperti birokrasi, realitas makro subjektif seperti nilai, fenomena mikro objektif seperti polainteraksi, dan fakta mikro objektif seperti proses konstruksi realitas. Dalam hal ini, Ritzer mekankan perlunya penerapan ketiga paradigma sosiologi sebagai paradigma integratif yang saling berkorelasi satu dengan lainnya. Meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai jalan keluar atas “kekacauan” kebuntuan teori-teori sosial nama tetap membuka ruang terhadap lahirnya paradigma-paradigma baru.
Dalam pandangan Ritzer, kini sosiologi berada pada tahap krisis karena terjadinya chaos teori-teori sosiologi modern, bahkan post modern. Meski demikian, tidak pupus harapan bahwa meskipun teori-teori sosiologi kini sedang berada pada situasi chaos namun, tetap saja ada peluang untuk lahirnya ide-ide baru yang akan melahirkan teori-teori yang berkontribusi penting pada sosiologi.
2.5. Dari Heraklitus hingga Ritzer: Menyusuri Jejak Paradigma Integratif Ritzer
Telah disampaikan sebelumnya bahwa meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai paradigma baru yang dipandang mampu menjadi paradigma yang lebih komprehensif dalam membahas masalah sosial, namun Ritzer tetap membuka ruang bagi lahirnya paradigma baru, karena ia memandang paradigma sosiologi saat ini berada pada masachaos.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa Ritzer menjadikan pemikiran Thomas Khun (1922-1996) sebagai landasan paradigma sosial yang ia bangun. Menurut Khun (Yuana, 2010:373) bahwa terjadi revolusi intelektual yang membalikkan perjalanan panjang jalur filsafat konservatif. Periode “normal” ditandani dengan tingkat independensi dan objektifitas rendah, dan lebih banyak menyetujui asumsi dan hasil yang sudah diharapkan. Selama periode “normal” ini, jika terjadi anomali hasil penelitian atau hasil di luar dari yang diharapkan, hasil ini akan dikesampingkan dan dianggap tidak relevan atau sebagai masalah yang akan diselesaikan lain waktu.
Menurut Khun, incommensurability (ketidakproporsionalan) yang menolak bahwa ilmu pengetahuan bergerak maju ke arah kebenaran hakiki. Kejadian penolakan paradigma lama, menurut Khun, untuk menerima hal yang baru justru meniadakan kemungkinan perbandingan. Karena itu, Khun berpendapat bahwa pandangan ilmuwan terhadap dunia mengalami perubahan yang ekstrim dengan munculnya paradigma baru sehingga tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif dengan paradigma lama. Khun mencontohkan bahwa Copernicus mengemukakan pandangannya tentang astronomi, yaitu zaman dimana bumi mengelilingi matahari yang dikenal dengan teori heliosentris. Sejak itu, pandangan tentang semesta benar-benar mengalami perubahan karena paradigma lama yang memandang matahari yang mengelilingi bumi tergantikan dengan paradigma baru yang mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Selanjutnya paradigma heliosentris mendapat dukungan kuat dari Galileo Galilei(1564-1642) dengan penemuan teleskop.
Teori Khun dapat dilukiskan dengan diagram (Ritzer, 2010:A-12) berikut:
Paradigma I Ilmu Normal Aanomali Krisis Revolusi Paradigma II
Dengan demikian, setiap paradigma akan terus mengalami perubahan setelah melalui proses seperti yang digambarkan pada diagram di atas. Berangkat dari diagram di atas, Ritzer tetap membuka ruang untuk ide-ide baru bagi lahirnya paradigma yang baru pula.
Selain Khun, pemikiran Pierre Bourdieu (Ritzer,2010: A-7) yang menginginkan sosiologi sebagai refleksi juga melandasi pikiran Ritzer.Bourdieu menolak pemisahan metateori dari apek studi sosiologi lainnya.Bourdieu yakin bahwa sosiolog akan mampu terus menerus bersikap refleksi ketika melakukan analisis sosiologis. Proseses refleksi sosiolog jelas membuka peluang-peluang baru terhadap paradigma baru. Hal inilah yang mendasari Ritzer untuk mengelompokkan paradigma sosiologi dalam tiga paradigma menuju paradigma integratif.
Nama lain, yang hidup sezaman dengan Ritzer, Jacques Derrida(1930-2004), rupanya juga mendasari pemikiran Ritzer. Derrida dikenal dengan teori dekonstruksi yang menyatakan bahwa interpretasi sangat memungkinkan terjadinya perbedaan antara pemberi tanda dengan penerima tanda, yang artinya objektifitas interpretasi menjadi tidak mungkin. Teori dekonstruksi Derrida cenderung mendekonstruksi pemikiran “mapan”. Pemikiran Derrida berlandas pada filsafat Saussure tentang strukturalisme bahasa dengan artian bahwa sebuah tanda (sign) yang dibangun oleh hubungannya dengan tanda-tanda lain, sekaligus perbedaan dengan tanda-tanda lain dalam sebuah sistm konsep.
Nama Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) yang merupakan seorang filsuf psikologi tentu tidak dapat dilepaskan dari paradigma integratif tawaran Ritzer. Korelasi pikiran dua tokoh ini sangat erat. Skinner merupakan filsuf Prancis beraliran filsafat behaviorismeradikal. Skinner menerapkan filsafatnya bukan hanya pada level individu, tapi juga pada level masyarakat berupa ide teknologi perilaku (cultural technology) yang mampu melakukan rekayasa kebudayaan (cultural engineering) untuk melancarkan revolusi kebudayaan, sebagaimana yang Skinner sebut sebagai Darwinisme Sosial. Karena rekayasa kebudayaan memiliki peluang besar terjadi dalam sistem sosial maka dengan sendirinya akan terjadi perubahan terus menerus, sebagaimana disebut Charles Darwin dengan teori evolusinya.
Andaikan Ritzer “malu-malu” menyebut nama Jean Paul Sartre(1905-1980) maka tentulah Ritzer mengabaikan asaz kebebasan manusia untuk terus melakukan pergerakan dalam menjalani kehidupannya. Tentu saja, jika merujuk pada paradigma integratif yang tetap membuka ruang pada terciptanya paradigma baru maka pikiran Sartre patut diperhitungkan sebagai bagian yang berperan dalam pemikiran Ritzer.
Menurut Sartre, tidak pernah ada yang memaksa manusia. Manusia selalu dihadapkan pada pilihan dalam setiap aspek kehidupannya. Jadi manusia selalu memiliki pilihan walaupun konsekwensinya adalah kematian. Karenanya kebabasan manusia untuk memilih tidak pernah hilang.
Meskipun pemikiran Ritzer tidak terang-terangan mengatakan bahwa filsafat pragmatisme John Dewey (1859-1952), namun pemikiran Dewey, khususnya dalam menentukan kebenaran yang harus melalui proses pengujian ilmiah jelas mendasari pikiran Ritzer.
Dewey mengemukakan lima langkah pencarian kebenaran, yaitu:Pertama, kondisi kebiasaan yang menjadi pengetahuan tiba-tiba berubah. Saat itu, pikiran akan segera bekerja untuk mencari penjelasan. Kedua,pencarian unsur-unsur dari situasi untuk merumuskan permasalahan yang ada. Ketiga, penyusunan dugaan-dugaan atau hipotesis secara kreatif yang mungkin menjadi jawaban terhadap persoalan yang disusun pada uraian kedua. Keempat, pengidentifikasian hipotesis dan pencarian urutan tingkat kebenarannya. Kelima, pengujian untuk menentukan hal manakah yang benar.
Karena pencarian kebenaran harus terus diuji sesuai tahapan Dewey maka setiap perubahan membutuhkan penjelasan ilmiah. Pada saat bersamaan, pencarian kebenaran tersebut jelas mengalami pergerakan yang terus berlangsung. Dengan demikian, pencarian kebenaran dimaksud berpotensi melahirkan paradigma baru sebagai jawaban atas pencaraian kebenaran yang dilakukan.
Pikiran Ritzer yang dituangkan dalam McDonaldisasi Masyarakat (McDonaldization of Society) jelas berhubungan secara historis filosofis dengan Karl Marx. Kalau Ritzer menyoroti tentang “overrasionalitas” pada perusahaan cepat saji seperti McDonald sementara Karl Marx menjelaskan pola kerja kapitalisme dalam hubungan pekerja dan majikan, yang dinilai Marx sebagai pola kerja yang tidak seimbang dalam memperoleh keuntungan.
Sementara itu, teori evolusi Charles Robert Darwin (1809-1892) yang menekankan bahwa alam ini memiliki mekanisme yang mengatur bahwa siapakah yang selamat dan terus hidup dan siapakah yang harus mati, yang ia sebut seleksi alam. Selanjutnya Darwin mengatakan bawah setiap organ, mengalami perubahan sedikit demi sedikit yang ia sebut evolusi. Dengan demikian, pikiran Thomas Khun yang mewarnai pikiran paradigma Ritzer jelas memiliki landasan evolusi Darwin. Hanya saja, Darwin lebih menekankan pada evolusi organ sementara Khun dan Ritzer pada perubahan yang puncaknya mengalami revolusi sehingga dibutuhkan paradigma baru.
Penganut teori evolusi lainnya, Henri Louis Bergson (1859-1941) dengan sendirinya juga menjadi dasar lahirnya paradigma-paradigma baru. Bergson berpendapat bahwa kejadian alam semesta ini adalah hasil dari interaksi yang terus menerus antara daya hidup (elan vital) dan materi. Meskipun Bergson lebih menekankan pada perubahan alam, namun perubahan yang terjadi pada masyarakat jelas juga memiliki korelasi paralel dengan perubahan yang terjadi pada alam semesta. Dengan demikian, cukup beralasan jika pandangan Bergson ini memiliki kaitan dengan perubahan paradigma menurut pandangan Ritzer.
Membaca filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang mengatakan bahwa kebenaran hakiki pelan-pelan akan terkuak seiring rentang evolusi sejarah perjalanan pemikiran filsafat juga dengan nyata dapat menjadi alasan Ritzer menawarkan konsep paradigma baru. Hegel mengajukan konsep dialektika yang dimulai dengan tesis yang mula-mula dianggap benar. Lalu refleksi menemukan kontradiksi dalam tesis yang oleh Hegel disebut antitesis dengan kekuatan legitimasi yang sama. Pertentangan tesis dan antitesis ini memunculkan ide ketiga yang disebutsintesis.
August Comte (1798-1857) yang dianggap sebagai Bapak Sosiologi jelas menjadi landasan utama pikiran Ritzer. Menurut Comte, perkembangan tatanan sosial dan ilmu pengetahuan diawalai dengan tahapteologi lalu berkembang pada tahap metafisika kemudian berkembang menjadi tahap pengetahuan positif yang tentu saja terus mengalami perkembangan berdasarkan pandangan Khun tentang anomali.
Aristoteles (384-322 SM) adalah filsuf yang menguasai banyak ilmu pengetahuan. Dia dikenal sebagai filosof yang selalu menampilkan data yang sangat kaya dan terklasifikasi dengan baik. Karena itulah, Aristoteles dianggap sebagai Bapak Ilmu Empiris dan Metode Ilmiah. Dia mengemukakan etika bahwa manusia yang bertindak dengan pikiran yang rasional dan bijaksana untuk tujuan kebajikan.
Metode ilmiah yang dikembangkan Ritzer jelas berangkat dari metode yang dikemukakan Aristoteles. Selain landasan metodologis, Aristoteles juga mengatakan bahwa alam semesta bergerak menuju kepada tujuan tertentu namun tidak menjelaskan kapan tujuan itu tercapai. Jika memperhatikan paradigma Ritzer yang membuka diri terhadap lahirnya paradigma baru maka pergerakan semesta versi Aristoteles yang menuju tujuannya juga akan mengalami perubahan-perubahan. Dengan demikan, maka benarlah Khun yang menjadi landasan pikiran Ritzer bahwa dari anomali akan terjadi krisis, lalu mengalami revolusi kemudian melahirkan paradigma baru dalam persfektif sosiologis.
Pandangan Plato (427-347 SM) yang mengatakan bahwa realitas yang hakiki adalah Realitas Yang Abadi, tidak berubah. Namun ada realitas lain yang merupakan cerminan realitas abadi itu. Realitas cerminan ini bersifat ilusif, berubah dan fana. Bila dikaitkan dengan Ritzer maka Realitas Yang Abadi yang tidak berubah itu, sebagaimana disebut Plato, bertentangan dengan pandangan Thomas Khun. Namun, jika dihubungkan dengan cerminan realitas seperti disebut Plato maka jelas terlihat betapa pendapat Khun berangkat dari Plato. Dengan demikian, paradigma baru yang bisa saja lahir dari ide-ide baru sebagai respon terhadap pemikiran sosioal yang chaos menurut Ritzer berkaitan dengan realitas cerminan Plato.
Sekitar 600 tahun Sebelum Masehi (SM) sampai 540 tahun SM,Heraklitus mengatakan bahwa semua hal di alam ini selalu berubah, mengalir, tidak diam, penuh persaingan dan bersifat abadi jelas menjadi akar paradigma yang dikemukakan Ritzer. Bahwa kondisi paradigma yang terjadi saat ini berada pada situasi chaos yang memungkinkan lahirnya ide-ide baru sangat beralasan jika berdasar pada pendapat Heraklitus tersebut.
Deskripsi singkat beberapa pemikiran filosof yang dikemukakan di atas semakin memperjelas jejak landasan pemikiran Ritzer tentangParadigma Integratif yang bersifat terbuka terhadap lahirnya ide-ide baru yang berpotensi besar melahirkan paradigma yang lebih baru pula sebagai respon atas fenomena sosial.
C. Penutup
Teori-teori sosiologi memiliki peranan penting dalam melakukan studi tentang masyarakat. Teori fungsionalisme struktural, neofungsionalisme, teori konflik, teori sistem, teori interaksionisme simbolik, etnometodoligi, teori pertukaran, teori jaringan, teori pilihan rasional, teori fenisme modern, teori modernitas kontemporer, teori strukturalisme, post strukturalisme dan teori-teori sosial post-modern menjadi paradigma penting dalam sosiologi.
Ide Filsuf, Thomas Khun yang kemudian diperjelas oleh Ritzer dan Goodman dengan mengusung paradigma integratif karena Ritzer mengangap bahwa kini teori-teori sosiologi berada pada kondisi chaos. Namun, selalu saja ada harapan, ide-ide baru akan lahir untuk memberi sumbangsi penting bagi sosiologi pada masa mendatang.
FILSAFAT MANUSIA; Siapakah Manusia?
A. Pendahuluan
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam,1999)
B. Hakekat manusia
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
No Eksistensi manusia Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives) Basic Human Values (Basic Islamic Values) Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
1 Al Insan Rasa ingin tahu Intelektual Intelektual
2 Al Basyar Rasa lapar, haus, dingin Biologis Biologis
3 Abdullah Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada tuhan Spiritual Spiritual
4 An-Nas Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian Sosial Sosial
5 Khalifah fil ardli Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan Estetika Estetika
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
C. Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
D. Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
Hubungan Antara Motivasi dengan Pelaku
Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilaku, menurut Kartini Kartono motivasi menjadi dorongan (driving force) terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh individu lain/ organisasi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi)
Kreativitas sebagai modal utama
Istilah kreativitas digunakan untuk mengacu pada kemampuan individu yang
mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan
wawasan segar yang sangat bernilai bagi individu tersebut. Kreativitas dapat juga
dianggap sebagai kemampuan untuk menjadi seorang pendengar yang baik, yang
mendengarkan gagasan yang datang dari dunia luar dan dari dalam diri sendiri atau dari
alam bawah sadar. Oleh karena itu, kreativitas lebih tepat didefinisikan sebagai suatu
pengalaman untuk mengungkapkan dan mengaktualisasikan identitas individu seseorang
secara terpadu dalam hubungan eratnya dengan diri sendiri, orang lain, dan alam. Haidar
Bagir, CEO Mizan Publishing dalam kuliah manajemen inovasi dan kreativitas
mendefinisikan kreativitas sebagai gagasan baru, orisinal, dan tepat sasaran
(appropriate). Kreativitas dan inovasi, kata Haidar, saling berdekatan dan berkaitan.
Kreativitas muncul di karya seni sedangkan inovasi, fase lanjut dari kreativitas, dekat dengan sains terapan dan teknologi. (www.itb.ac.id, diakses 19 Desember 2008)
Kreativitas sering dianggap terdiri dari 2 unsur, Pertama: Kefasihan yang ditunjukkan
oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara dini
dan cepat. Kedua: Keluwesan yang pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk
menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk memecahkan suatu
masalah.
Andangsari, (2005) dalam web Forum Komunikasi dan Informasi Universitas Bina
Nusantara (diakses 19 Desember 2008) menyatakan kreatifitas dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menempatkan sejumlah objek-objek yang ada dan
mengkombinasikannya menjadi bentuk yang berbeda untuk tujuan-tujuan yang baru.
Kreatifitas meliputi 3 hal :
1. Kreatifitas merupakan Kemampuan (Ability)
Yaitu suatu kemampuan untuk membayangkan atau menemukan suatu hal yang baru
2. Kreatifitas merupakan Sikap (Attitude)
Yaitu kemampuan untuk menerima perubahan dan sesuatu yang baru
3. Kreatifitas merupakan sebuah Proses (Process)
Orang yang kreatif merupakan orang yang terus-menerus membuat perubahan dan
perbaikan secara bertahap pada pekerjaan mereka.
Pengaruh Modernisasi, Motivasi dan Etos Kerja
Ketika gelombang modernisasi dan industrialisasi masuk yang ditandai dengan adanya
perubahan mode of production, ia menyeret serta urbanisasi dan keragaman industri ke
dalam suatu masyarakat majemuk baru yang lebih dinamis. Modernisasi yang menurut
Giddens berpola refleksif
(dalam Suharko, 1997) menyebabkan kultur urban yang
tercipta ini senantiasa ditandai dengan antara lain berkembangnya kreativitas. Kreativitas
berkembang dan menemukan lahannya tersendiri sebagai bagian dari fenomena
perkembangan model industrialisasi. Industri kreatif mengkonstruksi pelaku industrinya
sesuai dengan talenta yang dimilikinya.
Modernisasi refleksif menurut Giddens adalah modernisasi yang dapat merespon perkembangan yang
berbeda, yang tengah berlangsung, yakni globalisasi yang melanda dan mengubah kehidupan personal
hingga pada kondisi ketidak pastian.
Dalam industri kreatif, ciri utamanya adalah kreativitas, keahlian dan talenta yang
berpotensi meningkatkan kesejahteraan melalui penawaran kreasi intelektual. Industri
kreatif terdiri dari penyediaan produk kreatif langsung kepada pelanggan dan pendukung
penciptaan nilai kreatif pada ciri lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan
pelanggan. Produk kreatif mempunyai ciri-ciri: siklus hidup yang singkat, risiko tinggi,
margin yang tinggi, keanekaragaman tinggi, persaingan tinggi, dan mudah ditiru. Kondisi
yang demikian ini menuntut para pekerja di sektor industri kreatif untuk selalu mampu
berinovasi melahirkan ide-ide baru. Keharusan melahirkan ide-ide baru yang sangat
dinamis ini menyebabkan pentingnya bagi pekerja sektor industri kreatif untuk selalu
menjaga motivasi dan etos kerja mereka.
David McClelland
melalui teori modernisasinya dengan perspektif psikologi sosial
tentang dasar-dasar psikologi dan sikap manusia, melihat aspek pertumbuhan ekonomi
sebagai awal perkembangan budaya. Sebagai sebuah ciri internal yakni pada nilai-nilai
dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan,
dorongan internal untuk membentuk dan merubah nasib sendiri. Didasarkan pada studi
McClelland dalam the achieving society
adanya kaitan antara khayalan dengan dorongan
dan perilaku dalam kehidupan mereka yang dinamakan the need for achievement
(N’Ach) yakni nafsu untuk bekerja secara baik, bekerja tidak demi pengakuan sosial atau
gengsi tetapi dorongan kerja demi memuaskan batin dari dalam. Bagi mereka yang
mempunyai dorongan need for achievement tinggi akan bekerja lebih keras, belajar lebih
cepat dan sebagainya. Sektor industri kreatif dengan tuntutan perubahan ide dan desain
yang sangat cepat dan dinamis membutuhkan para pekerja yang mempunyai dorongan
need for achievement tinggi.
Weber berpendapat bahwa ciri wiraswastawan protestan, calvinisme tentang takdir yang
mendorong mereka untuk merasionalkan kehidupan yang ditunjukkan oleh Tuhan,
3 David McClelland, seorang Psikolog Amerika yang terkenal dengan teorinya tentang N-Ach dalam
bukunya The Achievement Motive In Economic Growth, 1984.
4 Studi McClelland bersama Inkeles dan smith, 1961 diterbitkan D.Van Nostrad, New York, juga
merupakan ringkasan dari buku terkenal McClelland The Achievement Motive In Economic Growth, 1984
mereka memiliki need for achievement yang tinggi. Yang dimaksud Weber dengan
semangat kapitalisme tersebut adalah dorongan need for achievement yang tinggi. Di sini
Weber melalui The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958) memberikan
pandangan mengenai asal-usul semangat atau etos kerja tertentu yang akhirnya
membentuk kapitalisme modern berkembang dan mendominasi perekonomian. Menurut
Weber, semangat kapitalisme bukan hanya sekedar mencari keuntungan ekonomi semata,
namun sebaliknya, merupakan sebuah sistem etika dan etos kerja yang menjadi
pendorong terjadinya kesuksesan ekonomi. Weber mengaitkan antara suatu etos
(keberagamaan) dengan semangat dalam bidang kesuksesan ekonomi yang dalam
konteks industri kreatif ini merupakan mesin penghasil ide-ide kreativitas. Melalui
pandangan Weber tentang semangat kapitalisme berupa etos kerja produktif kreatif yang
dipandang sebagai suatu sistem normatif yang berisi sejumlah ide yang saling terkait,
misalnya, tujuannya yang yang mengajarkan “sikap yang mengupayakan keuntungan
secara rasional dan secara tersistematis” (Weber, 1958 dalam Ritzer dan Goodman, 2004)
Di sisi lain, McClelland berpendapat bahwa need for achievement selalu berkaitan
dengan pertumbuhan ekonomi yang dalam dunia kerja mempengaruhi semangat dan
motivasi serta etos kerja sehingga mempengaruhi tinggi rendahnya motif antara lain need
for power dan need for affiliation. Kebutuhan untuk Afiliasi (N-Affil) berarti orang
mencari hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain dan kebutuhan akan
kekuasaan untuk dapat memiliki fleksibilitas dan mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuannya secara efektif. McClelland menolak pandangan ekonom bahwa
dorongan utama wiraswastawan adalah sekedar motif mencari keuntungan. Baginya
perilaku wiraswasta tidak semata sekedar mencari uang, melainkan dorongan
achievement tadi. Bagi McClelland, kebudayaan khususnya ekonomi merupakan ciptaan
kreatif dari dinamika manusia yang memiliki need for achievement yang tinggi, dorongan
tersebut dapat diukur yang disebut sebagai dorongan berprestasi.
Berbeda dengan McClelland, Clayton Alderfer, dalam Siagian (2008) mengemukakan
teorinya tentang motivasi yang terkenal dengan akronim “ERG”. Akronim ini mengacu
pada istilah Existence, Relatedness dan Growth. Existence menurut Alderfer adalah yang
berhubungan dengan kebutuhan fisiological dan keamanan fisik, mental, psikologikal,
dan intelektual. Sementara Relatedness adalah mengenai kebutuhan sosial, prestise dan
simbol-simbol status. Dan Growth sendiri merupakan kesempatan pengembangan potensi
melalui aktualisasi diri.
Dalam teorinya ini yang didasarkan pada sifat pragmatisme manusia yang menyadari
kondisi obyektif akan hal-hal yang memungkinkan untuk dicapainya, Alderfer
mengemukakan bahwa, ketika suatu kebutuhan tertentu tidak terpenuhi, maka akan
semakin besar pula dorongan motivasi untuk memuaskannya. Ketika suatu kebutuhan
telah terpuaskan, maka akan timbul kemudian dorongan untuk memuaskan kebutuhan
yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, ketika semakin sulit untuk memuaskan kebutuhan
yang tingkatnya lebih tinggi, maka akan semakin besar keinginan untuk memuaskan
kebutuhan yang lebih mendasar.
Kesimpulan
Faktor etos kerja dan motivasi menjadi kunci penting bagi keberlanjutan industri yang
berbasis pada kreatifitas. dengan karakteristik dasar industri kreatif yang berkembang
sangat dinamis dan rawan duplikasi dan replikasi, setiap pelaku industri kreatif
membutuhkan dorongan need for achievement yang tinggi agar dapat terus eksis di dunia
kreatifitas dalam era saat ini. Era yang oleh Giddens disebut dalam era modernisasi
refleksif dengan ketidakpastian situasi dan kultur urban yang cepat. Perkembangan
industri kreatif yang bermodalkan etos kerja dan motivasi tinggi dari para pelakunya oleh
Weber dan McClelland menjadi perwujudan dari rasionalisasi semangat kapitalisme
berupa pencapaian kesuksesan di bidang ekonomi dengan mempunyai dorongan atau
kebutuhan untuk terus mengembangkan potensi diri
Jenis jenis talenta manusia
Terkadang kit a menilai seorang anak ,terlebih bagi mereka yang masih sekolah hanya dari segi kemampun Logika(Matematika,fisika,dll) atau kemampuan berbahasanya .Sesungguhnya kita sebagai manusia sudah diberikan kemampuan atau talenta yang berbeda beda dan unik dari Bapa kita,namun demikian jarang orang menyadari itu.kita semua memang dibekali 9 talenta berikut , namun demikian pasti ada 1 yang paling menonjol dari diri kita.
Berikut adalah tipe atau jenis-jenis karakter yang dimilki manusia:
1.Logika : anak dengan bakat ini memiliki kelebihan dibidang hitung menghitung,gemar memecahkan rumus2 yang rumit dan biasanya anak dengan talenta ini akan ungul dalam pelajaran matematika dan sejenisnya.
2.Linguistik :anak dengan talenta ini biasanya pandai berbahasa , gemar denga karya satra dan hal2 yang menyangkut kesastraan.
3.Spasial :anak dengan talenta unik ini tertarik pada hal hal yang berbau statistic,pandai membaca peta .
4.Musik :anak dengan kemampuan ini akan sangat tertarik dengan musik,mudah mendalami alunan musikmdari dalam jiwa nya dan memilki nilai seni yang tinggi.
5.Kinestetik :anak dengan talenta ini sangat gemar berolahraga,tidak suka hanya berdiam diri dan ingin selalu aktif.akan mudah mengingat seuatu jika menyentuh lansung.
6.Interpersonal:sangat gemar dengan hal yang berbau keorganisasian atau kebersamaan,mampu memahami perasaan orang lain dengan baik, sifatnya ekstrofet.
7.Intrapersonal:mampu memahahi diri sendiri dengan baik,disiplin yang kuat.biasanya anak dengan talenta ini akan mudah memahami sesuatu jika menyendiri.
8.Natural :anak dengan talenta ini sangat menikmati saat-saat dengan alam, mencintai alam sekitar termasuk suka memelihara hewan .
9.Eksistensial :anak dengan kemmpuan terakhir ini mimiliki pemahaman filosoi yang tinggi , suka menanyakan hal2 tentang kehidupan ,misal : “akan kemanakah kita saat nanti kita mati??” dan memiliki tingkat moralitas yang tinggi.
Ferdinand Tonnies
FERDINAND TONNIES
A. Biografi Ferdinand Tonnies
Ferdinand Tonnies lahir di Schleswig, Jerman Timur pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Sepanjang hidupnya ia bekerja di universitas kota Kiel. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dan ia jugalah yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiological Association ( 1909, bersama dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya ). Ferdinand Tonnies memiliki berbagai karya diantaranya Gemeinschaft dan Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology). Diakhir usianya Tonnies adalah seorang yang aktif menentang gerakan NAZI di Jerman dan seringkali ia diundang menjadi Professor tamu di University of Kiel, setelah hampir masa hidupnya ia gunakan untuk melakukan penelitian, menulis, dan mengedit karya para sosiolog dimasanya.
B. Dua Tipe Masyarakat
Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses – proses biologis. Masyarakat adalah ciptaan karya manusia sendiri. Masyarakat adalah usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi – relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia yang mendasari masyarakat. Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara Zweckwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai suatu tujuan dan Triebwille, yaitu dorongan batin berupa perasaan. Zweckwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu dan mengambil tujuan rasional kearah itu. Biasanya di bidang ekonomi orang yang hendak mencari keuntungan atau jasa – jasa pelayanan di dorong oleh “Zweckwille”. Rangka tujuan itu mereka mendirikan kongsi- kongsi atau mengadakan relasi – relasi dagang, dimana bukan relasi sendiri menjadi pertimbangan melainkan tujuan yang mau dicapai melalui relasi itu. Dalam pencapaian tersebut, yang menuntun mereka adalah suatu pertimbangan rasional seperti materi, keuntungan, dan sebagainya. Zweckwille ini terlihat menonjol pada kalangan pedagang, ilmuwan, dan pejabat-pejabat yang kesemuanya mementingkan sikap yang rasional. Sedangkan dalam Triebwille, meliputi sejumlah langkah atau tindakan yang tidak hanya berasal dari akal budi, melainkan dari sifat, perasaan, hati dan jiwa seseorang yang bersangkutan Triebwille bersumber pada selera perasaan, kecenderungan psikis, kebutuhan biotis, keyakinan, maupun perasaan seseorang. tradisi atau keyakinan orang. Sehingga konsep ini menggambarkan dalam mengambil keputusan mengenai tujuan tertentu, seseorang dipengaruhi oleh perasaannya. Zweckwille ini terlihat pada kalangan petani, rakyat sederhana, seniman dan orang-orang yang lebih menggunakan perasaan dalam pekerjaannya. Misalnya, orang bekerja sama karena senang dengan keramaian atau karena ingin belajar atau mau menolong atau merasa diri berguna, kreatif dan sebagainya.
Triebwille paling menonjol dikalangan petani, orang seniman, rakyat sederhana, khususnya wanita dan generasi muda. Zweckwille lebih menonjol di kalangan pedagang, ilmuwan dan pejabat – pejabat umumnya orang – orang tua bersikap lebih rasional dan berkepala dingin daripada orang muda. Distringsi tersebut ini langsung berpengaruh atas corak dan cirri interaksi orang dalam kelompok atau masyarakat, sehingga kita dapat membedakan antara dua tipe masyarakat. Dengan konsep inilah corak dan ciri masyarakat terbagi, yakni menjadi gemeinschaft dan gesselschaft. Menurut Selo Soemarjan dan Solaeman Soemardi, gemeinschaft atau paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama yang sesuai dengan triebwille. Kebersamaan dan kerja sama tidak diadakan untuk mencapai tujuan dari luar, melainkan lebih dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Sehingga orang lebih merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan tersendiri karenanya. Sedangkan gesselschaft lebih menggambarkan suatu kehidupan bersama yang sesuai dengan zweckwille. Gesellschaft atau petembayan ini lebih mengasosiasikan dimana suatu relasi kebersamaan dan kesatuan timbul dari faktor-faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dan sebagainya. Unsur-unsur individu beserta masing-masing kepentingan dalam pencapaian suatu tujuan lebih ditonjolkan.
Seperti dibicarakan sebelumnya, Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Gemeinschaft adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuai dengan “triebwille”. Kebersamaan dan kerja sama tidak diadakan untuk mencapai suatu tujuan diluar, melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Toennies menyebutkan sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga, sahabat – sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dan lain sebagainya. Para oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya. Kata Toennies, “prototype semua persekutuan hidup yang dinamakan “Gemeinschaft” itu keluarga. Ketiga soko guru yang menyokong Gemeinschaft ialah :
a) Darah
b) Tempat tinggal atau tanah
c) Jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan, dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh keluarga. Unsur yang pertama bersifat konstitutif
Gesselschaft tipe asosiasi dimana relasi – relasi kebersamaan dan kebersatuan antara orang berasal dari faktor–faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang – undang dan sebagainya. Kata Toennies, “Teori Gesellschaft berhubung dengan perjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atas cara buatan (artificial). Kalau dilihat sepintas – lalu saja, kumpulan itu mirip dengan Gemeinschsft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu, sekalipun ada factor – factor yang memisahkan, sedang dalam Gesellschaft pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dari yang lain.
Toennies memakai istilah “hidup yang organis dan nyata (real)” untuk relasi – relasi yang berlaku di dalam Gemeinschaft, dan istilah dalam Gesellschaft. Yang pertama membentuk suatu kesatuan hidup, dimana unsure kesatuan dan kolektifitas lebih menonjol. Pola interaksi yang berlaku dalam Gemeinschaft dan pola yang berlaku dalam Gesellschaft tidak saling menolak atau bertentangan satu terhadap yang lain.
C. Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tonnies memiliki teori yang penting yang berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat.
Sedang Gesellschaft merupakan sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.
Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan dan pertolongan. Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di Yogyakarta.
2) Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW.
3) Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama.
Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Oleh Tonnies juga dikatakan bahwa suatu paguyuban (gemeinschaft) mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut.
1. Intimate, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra
2. Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja
3. Exclusive, yaitu hubungan itu hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang diluar”kita”
Di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara anggota suatu paguyuban, pertentangan tersebut tidak akan dapat diatasi dalam suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan yang menyeluruh antara anggota-anggotanya. Tak mungkin suatu pertentangan yang kecil diatasi karena pertentangan tersebut akan menjalar kebidang-bidang lainnya. Keadaan yang agak berbeda akan dijumpai pada petembayan atau gesselschaft, dimana terdapat public life yang artinya bahwa hubunganya bersifat untuk semua orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan kami” menjadi kabur. Pertentangan-pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu sehingga suatu persoalan dapat dialokasikan.
D. Ferdinand Tonnies dan Evolusi tanpa Kemajuan
Durkheim menjelaskan tipologi perubahan masyarakat dengan membuat perbandingan “solidaritas mekanik” dan “solidaritas organik”, Spencer membuat tipe “masyarakat militer” vs “masyarakat industri”, Weber yang membagi “masyarakat agraris tradisional” dengan “masyarakat kapitalis”. Maka dibawah ini adalah tabel dikotomi serupa yang disajikan oleh Tonnies dalam Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887). Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer). Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat modern (Gesellschaft). Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi (Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Dan dibawah ini adalah pemaparan Tonnies tentang perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah memperburuk, menurut dirinya.
Ciri Gemeinschaft(komunitas) Gesellschaft (masyarakat modern)
Hubungan sosial Ikatan Keluarga Pertukaran ekonomi
Institusi khas Keluarga Negara dan ekonomi
Citra tentang individu Kedirian Orang, warga
Bentuk kekayaan Tanah Uang
Tipe hukum Hukum keluarga Hukum kontrak
Institusi sosial Desa Kota
Kontrol sosial Adat dan agama Hukum dan pendapat umum
Ciri dari Gemeinschaft yaitu berbentuk komunitas sedangkan ciri dari Gesellschaft yaitu masyarakat modern
Tentang hal ini pula secara tidak langsung bagi Tonies faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat dimana prinsip evolusi yang ia miliki hampir sama dan senada dengan prinsip evolusi ahli lain seperti Max Weber begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantara penyebab terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berfikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan dan sistem organisasi. Sebagai contoh kasus ialah adanya suatu masyarakat bernama kampung Ambon di daerah Bekasi, dimana asalnya sebuah komunitas tersebut merupakan hanya kaum urban yang datang dari Ambon dan sekitarnya untuk mencari penghasilan dengan bekerja seadanya, namun seiring dengan perubahan masa, waktu dan zaman urbanisasi yang datang dari daerah tersebut semakin banyak dan mengikuti pendahulunya yang lain untuk menempati lokasi yang sama. Sehingga saat ini terbentuklan suatu masyarakat Ambon yang datang ke Jakarta setelah sebelumnya hanya sebuah komunitas belaka.
KESIMPULAN
Ferdinand Tonnies adalah seorang sosiolog yang lahir di Schleswig, Jerman Timur pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Sepanjang hidupnya ia bekerja di universitas kota Kiel. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Ferdinand Tonnies merupakan tokoh sosiologi yang mencetuskan teori Gemeinschaft dan Gesellschaft pada sekitar tahun 1988 dimana teori tersebut disambut dengan baik oleh kalangan masyarakat baik dari gereja. Tonnies yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Beliau meruakan contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan, perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah yang lebih buruk, menurut dirinya. Ciri dari Gemeinschaft yaitu berbentuk komunitas sedangkan ciri dari Gesellschaft yaitu masyarakat modern.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan menurut UU Sisdiknas
Karena UU Sisdiknas itu puanjang...aku kutipin sebagian tentang pengertian dan tujuan pendidikan menurut UU RI No 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan Pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26. Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
DEMOKRASI PENDIDIKAN MENURUT JOHN DEWEY
Pendidikan memiliki ruang lingkup yang amat sangat luas. Hal tersebut dikarenakan pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia.[1] Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.[2] Hal tersebut disebabkan karena pendidikan merupakan dasar kesuksesan bagi individu dan masyarakat.[3] Secara umum ada pandangan teoritis umum tujuan pendidikan, pertama pandangan yang berorientasi pada kemasyarakatan dan yang kedua lebih berorientasi pada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.[4] Oleh karena itu mengapa pemerintah di negara-negara maju sangat memperhatikan pendidikan. Hal itu disebabkan oleh anggapan mereka tentang adanya kekuatan besar dalam pendidikan untuk meningkatkan kemampuan individu dan juga masyarakat dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.[5]
Dalam persepektif ini pendidikan merupakan usaha manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda untuk mengubah dan meningkatkan.[6] Pendidikan ditinjau dari segi usaha meningkatkan kemampuan individu khususnya anak adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[7] Para tokoh UNESCO menemukan pengertian pendidikan sebagai “ education is now engaged is preparinment for a tipe society which does not yet exist ”, atau pendidikan sekarang ini sibuk mempersiapkan manusia bagi suatu tipe masyarakat yang belum ada.[8] Menurut Garten. V. Good dalam dictionary of education pendidikan mengandung pengertian sebagai suatu proses perkembangan kecakapan seorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakat dan professional dimana seorang dipengaruhi oleh suatu yang terpimpin.[9]
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh orang dewasa secara sadar yang telah memiliki dasar pengetahuan hidup yang lebih dari cukup untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan serta pengetahuan tentang kehidupan kepada generasi muda dalam rangka memberikan dan meningkatkan kemampuan (inside competence dan outside competence) generasi muda dalam segala segi kehidupan baik secara jasmani maupun rohani dengan berbagai sarana agar generasi muda selanjutnya lebih berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam sejarah pertumbuhan pendidikan manusia, ada satu penggal sejarah yang diwarnai dengan pertentangan antara pendidikan yang dijalankan secara demokratis dan sebaliknya yang dilaksanakan dengan otoriter.[10] Untuk itu muncullah suatu aliran progresivisme yang merupakan sebuah aliran filsafat pendidikan yang menekankan pada pentingnya pendidikan demokratis dengan tokohnya yang terkenal John Dewey subur dan berkembang di masyarakat barat.[11] John Dewey merupakan orang yang paling bertanggungjawab dalam perancangan pendidikan orang Amerika sekaligus bertanggungjawab atas kehidupan moral bangsa ini yang mana pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pengembangan progresivisme Pierce dari metode menjadi teori kebenaran, agama, dan filsafat secara umum oleh William James dengan pragmatismenya.[12] Filsafat pragmatisme dengan pandangannya terhadap ilmu (science) yang merupakan kemajuan (progress) selama sains itu selalu memperbaiki kesalahannya.[13] Hal ini telah mempangaruhi John Dewey dalam pemikirannya tentang pendidikan.
John Dewey Riwayat Hidup Dan Pemikirannya Tentang Pendidikan.
John Dewey dilahirkan pada tanggal 20 oktober 1859 disebuah daerah pertanian dekat Burlington. Vermount.[14] Dia adalah anak seorang pemilik toko di desanya.[15] Ia memperoleh pendidikan pertamanya disekolah umum Burlington, kemudian melanjutkan ke universitas Vermount, dan ketika masih menjadi seorang mahasiswa dia berteman baik dengan Prof. H. A. P. Torrey yaitu orang yang membawa dan menguraikan semacam kelompok realism yang diadopsi dari Skotlandia.[16] Setelah keluar dari Vermount pada tahun 1875, tahun 1879 Dewey menerima diploma kandidat, kemudian dia mengajar selama 3 tahun.[17] Berkat intruksi dari Torrey, ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya pada universitas John Hopkins dengan desertasinya The Psikologi Of Kant. Ia menyelesaikan program doktoral dalam bidang filsafat pada universitas tersebut pada tahun 1884.[18]
John Dewey mula-mula mengajar di Chicago kemudian di universitas Columbia New York yang memiliki satu perguruan tinggi pendidikan guru yaitu teachers college.[19] Di universitas Chicago ia menjadi ketua jurusan filsafat, psikologi, dan pedagogik, dan di universitas tersebut ia mendirikan sebuah sekolah percobaan (laboratorium sekolah) untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sekolah ini diberi nama university elementaire school dan menjadi masyhur diseluruh dunia.[20] Pada tahun 1884 ia diangkat menjadi dosen lalu asisten profesor dan profesor di universitas Michigan. Disini ia menjadi ketua jurusan filsafat sejak 1889 sampai 1894. Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi profesor filsafat di universitas Minesota.[21] Ia mengajar di universitas Columbia pada tahun 1904 sampai 1931 untuk memberikan filsafat dan pedagogik kepada akademi guru.[22] Kemudian menikah dengan Alice Chipman pada tahun 1886.[23]
Pada tahun 1905 ia pindah ke Columbia university di New York dan memberikan kuliah fisafat dan pendidikan di teacher’s college.[24] Selama di universitas ini Dewey giat dalam kegiatan-kegiatan organisasi.[25] Dan dia tinggal di New York lebih dari 40 tahun sampai pensiun dari mengajar pada tahun 1930. ia meninggal pada tanggal 1 januari 1952 di New York.[26] selama hidupnya ia banyak menorehkan karya-karya yang terkenal di dunia diantaranya My Pedagogic Creed (1897), School And Society (1899), How We Think (1910), Democracy And Education (1916),[27]The American Civil Liberties (1920), Impressions Of Sovyet Russia And The Revolutionary Word Mexico-China-Turki (1929),[28] Experience And Education (1938) dan Education Today (1940).[29]
Agar dapat memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan pengajaran perlu diketahui tentang dasar-dasar pokok dari pandangan hidupnya yang meliputi beberapa teori diantaranya:
1. Dasar pokok dari filsafatnya adalah teori evolusi Darwin yang mengatakan bahwasannya hidup ini dinamis tidak statis. Dari sini Deweymenarik kesimpulan bahwa letak puncak kemajuan itu tidak dapat diketahui terlebih dahulu, hal itu terletak dihari kemudian dan bergantung pada kemajuan masyarakat tiap masa.
2. John Dewey merupakan penganut teori pragmatisme, benar tidaknya suatu teori tergantung pada berfaedah tidaknya teori bagi manusia dalam kehidupannya.sesuai dengan hal itu maka tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil fikir yang dapat membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Dan penilaian tentang benar tidaknya sesuatu tergantung pada guna atau manfaatnya untuk masyarakat serta kemajuan.[30]
3. Dalam kejiwaan, ia menganut teori behaviorisme (tingkah laku) yang berasumsi bahwa kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam. Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi (respons) atas rangsangan (stimulus) dari luar, dan perbuatan manusia itu selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan.[31]
Menurut dasar-dasar diatas, menurut Ag. Soejono dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Dewey pendidikan itu ialah memberikan kesempatan untuk hidup dan hidup adalah menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individu maupun kelompok untuk mendapatkan pengalaman sebagai modal berharga dalam berfikir kritis, serta produktif dan berbuat susila. [32]sebenarnya pandangan-pandangan Dewey tentang pendidikan sukar diklasifikasikan kadang merupakan pengungkapan fakta, tetapi kadang ekspresi penilaian terhadap fakta. Dan fakta yang ia kemukakan ada tiga macam yaitu: hakekat manusia, masyarakat yang memiliki suatu sistem kelembagaan yang memiliki bagian-bagian yang saling bekerja sama, mengenai kondisi sekolah-sekolah.[33]
Pandangan-pandangan John Dewey terhadap pendidikan secara umum pada dasarnya adalah upaya redefinisi pendidikan dan tujuan umum pendidikan. Definisi pendidikan menurut Dewey adalah proses dimana masyarakat mengenal diri. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses agar masyarakat menjadi survival untuk menjadi kekal dan abadi. Secara khusus rekomendasi Dewey terhadap pendidikan mecakup dua hal diantaranya: Pertama. metode pendidikan. Menurut Dewey metode pendidikan adalah upaya menanamkan disiplin, tetapi bukan otoritas. Yang penting adalah mengontrol anak dari eksternal. Metode pengajaran dengan displin berarti seorang mengarahkan pelajaran dengan disiplin dengan cara: 1). Semua paksaan harus dibuang, 2). Agar dapat muncul minat, guru harus intim dengan kecakapan dan minat setiap murid, 3). Guru harus menciptakan situasi di kelas sehingga setiap orang turut berpartisipasi dalam proses belajar.
Kedua. kurikulum. Rekomendasi Dewey berkaitan dengan kurikulum tergantung pada definisinya tentang pendidikan dan pandangannya tentang tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan lembaga-lembaga yang membentuk masyarakat. Sedangkan isi pendidikan adalah mata pelajaran yang memberikan impulse kepada anak didik. Isi tersebut meliputi menejemen dan pelaksanaan semua materi pelajaran.[34]Disamping itu pandangan Dewey mencakup beberapa point yaitu:
a) Education as a necessity of life.
Dewey memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Dewey mengartikan pendidikan adalah transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Dan hidup itu sendiri pada dasarnya adalah proses perbaikan diri. maka kelestarian hidup itu hanya dapat dijaga dengan perbaikan yang konstant yaitu pendidikan.
b) Education as a social fungction.
Masyarakat disini lebih daripada sebuah tempat dan perantara interaksi watak seorang dengan lingkungan. Lingkungan sosial lebih merupakan keseluruhan aktifitas seseorang terutama dalam melakukan aktifitas fisik sebagai pengaruh salah seorang dalam kelompok tersebut. Secara gradual ini merupakan efek pendidikan. dan masing-masing individu mempunyai tujuan atau partisipasi dalam beberapa aktivitasnya.
c) Education as direction
Pada situasi sosial tertentu anak berhubungan langsung dengan perbuatan mereka. untuk apa mereka melakukan dan berbuat secara tiba-tiba. Aktivitas mereka ini secara langsung merupakan hasil dari pengertian dari partisipasi-partisipasinya. Sehingga penampilan berbeda dengan tindakan seseorang. Hal ini merupakan akhir dari sebuah tindakan sebagai pokok dari kontrol sosial secara tidak langsung. Dan sekolah merupakan kesempatan yang besar bagi penafsiran sebuah aktivitas di dalam pengajaran dan mereka mungkin memperoleh perasaan sosial atas kekuatan mereka sendiri dari materi-materi serta peralatan yang digunakan.
d) Education as growth.
Kekuatan belajar dari makna pengalaman-pengalaman adalah suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut merupakan kapasitas aktif untuk mengatur aktivitas. Dan pendidikan adalah salah satu bagian dari pertumbuhan yang mana kriteria nilai dari pendidikan persekolahan merupakan perluasaan dalam membuat efektifitas hasrat seseorang secara nyata.
e) Education as preparation.
Dewey mengatakan” preparing or getting ready for some future duty or privilege’. Pendidikan adalah mempersiapkan atau mendapatkan kesiapan untuk banyak tugas atau tanggung jawab mendatang.[35]
f) Education is unfolding.
Dewey mengatakan”the notion that education is an unfolding from within appears to have more likeness to the conception of growth which has been set forth”. Dewey lebih condong bahwa pendidikan dibentangkan dari yang nampak dan memiliki banyak kesamaan konsepsi pertumbuhan yang menjadi perlengkapan seterusnya.
g) Education as training of faculties.
“Education is the training of these faculties through repeated exercise”. Pendidikan merupakan latihan dari bagian-bagian melalui pengulangan pertanyaan.
h) Education is formation.
Pendidikan merupakan pembentukan diri. Implikasi pendidikan dari doktrin ini ialah: pertama. tindakan diri dibentuk oleh penggunaan obyek yang menimbulkan rencana dari reaksi-reaksi lain. Formasi diri ini adalah keseluruhan materi penyajian yang pantas menjadi materi pendidikan. Kedua, sejak penyajian diri mengandung penampakan bagian-bagian kontrol asimilasi dari penyajian-penyajian baru, karakter mereka sangat penting setelah efek dari penyajian – penyajian baru adalah sebagai penguat kelompok sebelumnya.
i) Education as recapitulation and restrospection.
Dewey menyatakan bahwa pendidikan harus mampu menjadikan seseorang pribadi. Individu memiliki aktivitas asal sebagai dasar kenyataan. Mereka dihasilkan dengan jalan demikian atau berasal dari satu keturunan. Belajar yang dihasilkan dari masa lampau menurut Dewey tidak akan membantu kita mengerti keadaan sekarang karena hal itu bukanlah bertujuan pada hasil. Masa kini menghasilkan masalah-masalah yang memimpinnya untuk menyelamatkan masa lampau. Masa lalu adalah sumber daya yang besar bagi imajinasi. Di sini dapat kita lihat bahwasanya pengetahuan masa lampau dan masa kini memiliki sinergisitas yang harus dipertahankan untuk mewujudkan suatu pendidikan yang lebih berhasil. Masa lalu sebagai talak ukur dalam melangkah kedepan dengan melihat aspek positif dan negative yang terjadi selama masa tersebut sedangkan pengetahuan masa kini membentuk suatu kondisi yang memunculkan dan mengkombinasikan realita yang ada. Kemudian dari kedua pengetahuan tersebut dapat ditarik benang merah yang akan memunculkan suatu teori baru yang efektif dalam pendidikan.
j) Education as reconstruction.
Pada pertumbuhan anak dan orang dewasa semua berdiri pada level pendidikan. Dan ide tentang kemajuan secara formal disimpulkan dalam pengalaman rekonstruksi yang terus menerus bagi kondisi yang akan datang. sebagai pembuka bentuk eksternal dan rekapitulasi masa lalu.[36] Tujuan pendidikan di sini haruslah memiliki dan melakukan perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik untuk menjamin kualitas suatu pendidikan dan kuantitas nilai materi dalam pendidikan tersebut.[37]
k) Education as national and as social.
Perhatian yang sistematis terhadap pendidikan merupakan makanan yang baik bagi pemulihan dan pemeliharaan integritas politik dan kekuasaan. Identifikasi dari situasi historis dapat memindahkan dorongan pendidikan suatu negara dengan nasionalistik dalam kehidupan politik. Suatu fakta membuktikan bahwa di bawah pengaruh pemikiran Jerman, pendidikan menjadi berfungsi umum dan hal ini diidentifikasikan dengan realisasi ideal suatu negara. Menurut Dewey suatu masyarakat harus mempunyai tipe pendidikan yang memberikan individu interest pribadi dalam relasi dan kontrol sosial, dan kebiasaan-kebiasaan sosial dan dirubah tanpa memperkenalkan kekacauan.[38]
Demokrasi pendidikan.
Impian adanya pendidikan bermutu hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan. Demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.[39] Suatu tatanan masyarakat yang telah memiliki sistem yang mengatur segala kegiatan dengan baik, baik kegiatan yang bersifat internal maupun ekternal. Demokrasi pendidikan dalam pengertian luas patut selalu dianalisis sehingga memberikan manfaat dalam praktik kehidupan dan pendidikan yang mengandung tiga hal. diantaranya:
1. Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia.
2. Setiap manusia memiliki perubahan kearah pemikiran yang sehat.
3. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.[40]
Dalam setiap pelaksanaan pendidikan selalu terkait dengan masalah-masalah antara lain:
1. Hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.
2. Kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan.
3. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Dari prinsip-prinsip diatas dapat dipahami bahwa ide-ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat banyak dipengaruhi oleh alam pikiran. sifat. dan jenis masyarakat dimana mereka berada. karena dalam kenyataan bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan penghidupan masyarakat.[41] Sedangkan demokrasi dalam proses pendidikan dapat diarahkan kepada pembawaan kultur dan norma keadaban. Dalam proses pembelajaran yang demokratis fungsi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator.[42]Paolo Freire menyatakan bahwa untuk mencapai demokrasi pendidikan perlu diciptakan kebebasaan interaksi antara pendidik dan peserta didiknya dalam proses belajar dikelas.[43] Jadi demokrasi pendidikan akan mendorong tumbuhnya iklim egalitarian (kesetaraan atau kesamaan derajat dalam kebersamaan) antara pendidik dan peserta didik. disamping itu demokrasi pendidikan merupakan cara yang paling strategis bagi pembentukan civil society.[44] Atau demokrasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita dan kehendak civil society.[45]
Jadi demokrasi pendidikan mengandung arti proses menuju demokrasi dalam pendidikan. Tujuan demokrasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis, dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokrasi.
Bagaimanakah demokrasi pendidikan John Dewey?
Konsep demokrasi dalam pendidikan, sebagaimana dinyatakan dewey “ individu lebih didominasi oleh hasrat alamiah. Hasrat yang tinggi ini memunculkan rasa kasihan, keramahan, serta beberapa watak yang menonjol. Hasrat alami membuat individu sebagai warga negara yang baik sebagai pembela negara, tapi keterbatasan mereka berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang merupakan sebuah kapasitas yang digenggam secara universal.[46]Hasrat yang tinggi terbentuk dalam pengalaman dan kebebasan. Dan satu-satunya kebebasan yang tetap penting adalah kebebasan intelegensi yaitu kebebasan observasi dan pertimbangan yang dilakukan atas nama sejumlah tujuan yang hakekatnya berharga. Kekeliruan yang paling sering dilakukan terhadap kebebasan adalah menyamakan dengan kebebasan bergerak atau sisi dengan sisi eksternal atau fisik dari kegiatan. Namun sisi eksternal atau fisik dari kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari sisi internal kegiatan yaitu kebebasan berfikir. berkeinginan. dan bertujuan.[47]
Keuntungan yang secara potensional dalam peningkatan kebebasan ilmiah yaitu pertama; tanpa kebebasan tersebut. tidak mungkin bagi seorang guru untuk memperoleh pengetahuan tentang semua individu yang ditanganinya. yang kedua ditemukan dalam sifat dasar dari proses belajar itu sendiri. Disinilah minat sebagai panji-panji yang mengangkat sang anak sebagai pusat pendidikan sehingga menyerukan kebebasan dan inisiatif.[48]
Dari beberapa point kebebasan yang dibawa oleh John Dewey ada beberapa konsp demokrasi pendidikan yang menjadi pokok konsep pendidikannya. diantaranya;
1. a. Kritik John Dewey terhadap filsafat dan praktek pendidikan tradisional.
Sejarah teori pendidikan ditandai oleh oposisi antara ide bahwa pendidikan merupakan pengembangan dari dalam kodrat manusia dan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan dari luar diri manusia bahwa pendidikan berdasarkan bakat alami dan bahwa pendidikan merupakan suatu proses upaya mengatasi kecenderungan alami dan mengantikannya dengan berbagai kebiasaan yang diperoleh lewat tekanan eksternal. Dan dewasa ini sekolah cenderung mengambil bentuk kontras antara gaya pendidikan tradisional dan gaya pendidikan progresif.
Ide-ide yang mendasari gaya pendidikan tradisional dirumuskan secara luas tanpa kualifikasi yang diperlukan untuk suatu pernyataan akurat. Jadi ide-idenya biasanya menyangkut materi pokok pendidikan yang terdiri dari perangkat informasi dan keterampilan yang telah dihasilkan pada masa lampau. karena itu tujuan utama sekolah ialah mewariskan segala pengetahuan tersebut kepada generasi yang baru. Dalam hal ini faktor mendasar dalam proses pendidikan adalah kondisi mengada-being-yang kuncup dan faktor lain adalah sasaran-sasaran sosial tertentu. maka nilai-nilai yang mengejawantah dalam pengalaman orang dewasa.
Kemudian ia mengkritik sekolah traditional mengenai beberapa hal. karena dianggap bukan tidak mampu menyentuh aspek-aspek pendidikan yang meliputi ranah afektif, kognitif dan psikomotorik, kritikannya tersebut diantarannya mengenai; bahan pengajaran, cara guru mengajar, cara murid belajar, dan cara menyelenggarakan sekolah. Pertama; disekolah kuno menurutnya terlalu banyak mata pelajaran yang diajarkan. karena tujuan sekolah kuno ialah agar para siswa dapat menduduki jabatan intelektual dan materio sentris.[49] Menurut dewey tidak boleh kebutuhan golongan terbesar dikalahkan oleh kebutuhan golongan yang kecil. Oleh karena itu mata pelajaran yang banyak jumlahnya dan menimbulkan pendidikan intelektualitas dan itu perlu dikurangi dan diganti dengan pengajaran dan latihan kerja.[50] Disamping itu pengetahuan yang diberikan di sekolah kuno kepada muridnya merupakan pengetahuan yang telah diolah. disiapkan. dan dipecahkan kesulitannya terlebih dahulu oleh orang dewasa. hal ini menurut dewey tidak ada gunanya karena anak mengalami proses berfikir sendiri dari permulaan hingga akhir sesuai dengan tingkat kemajuannya sendiri.[51]
Kedua kritik Dewey terhadap guru dan sarana mengajar di sekolah kun guru meilii peran yang sangat memnentukan segala sesuatu (guru-central). Jadi guru yang memaksakan bahan pengajranan kepada anak. berfikir untuk anak. memecahkan soal untuk anak. sehingga yang aktif justru sang guru bukan anak didik.[52]menurut Dewey tidak perlu adanya minat paksaan sebab kecuali minat langsung juga pada anak minat langsung dapat juga pada anak itu ditimbulkan minat yang tidak langsung.[53] Guru dalam hal ini harus hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja. pengamat tingkah laku anak untuk dapat mengetahui hal yang menarik minat anak. seperti Montessori.[54] Dan dengan perkembangan tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat minat anak.
Ketiga murid dan cara belajar. disekolah kouno muridhanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey sekolah tradisionalia namai sekolah anak, sekolah dengar, sekolah percaya, juga sekolah buku karena anak dipaksa mengambil hal yang telah dituturkan dan lengkap difikirkan untuknya dalam buku. Disini murid tidak mendapatkan kebebasan. tidak ada kesempatan untuk mengeluarkan sesuatu dengan spontan. perbuatan dan pikiran murid tergantung pada orang lain, lisan dari guru, maupun tertulis dari buku. Keadaan seperti itu wajid diubah, anak harus bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah learning by doing yang dikehendaki oleh John Dewey. Disini anak harus dididik kecerdasannya agar padanya timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berfikir secara keilmuwan, obyektif, logis, dan yang dipentingkan ialah jalan berfikir bukan hal yang difikirkan.[55]
Keempat. penyelenggaraan sekolah. alat dan peraturan yang ada di sekolah tradisional sakan-akan memaksa anak untuk pasif, perbuatan di sekolah berlangsung kaku, tidak memberikan kebebasan bertindak, bentuk bangku, gedung, rencana pelajaran, semuanya mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru, tidak ada kesempatan untuk mengadakan penyelidikan (survey) dan percobaan jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan dalam kelas terlalu banyak murid.[56]
Apabila kritik tersirat itu dirumuskan secara explisit, agaknya ia berbunyi seperti berikut: Pada hakekatnya pola pendidikan tradisional bersifat paksaaan dari atas dan dari luar pendidikan tradisional memaksakan seluruh norma, materi pokok pelajaran, dan metode orang dewaa kepada anak muda yang hanya dapat bertumbuh secara berlahan menuju kematangan. Jurang itu sedemikian lebarnya sehinggga materi baik pokok pelajaran, metode belajar dan bertindak yang dituntut itu menjadi asing bagi kesanggupan yang ada pada anak muda.[57]
1. b. Sekolah kerja
Timbulnya sekolah kerja adalah pelaksanaan dari aliran pendagogik yang dinamai pendagogik special.[58] Setelah timbulnya aliran nasionallisme orang berpendapat bahwa pengetahuan adalah kuasa, knowledge is power, pengajaran dan pendidikan dalam sekolah menjadi amat individualistis dan intelektualistis, dan hasilnya ialah anak didik menjadi bersifat individualistis dan masyarakat menjadi kapitalis.[59]
Kemudian aliran sosial dalam masyarakat menghendaki berubahnya masyarakat kapitalis tersebut yang sistem pengajaran dan pendidikannya. Bukan pengetahuannya tetapi keprigelan, kerja produktif, watak kesediaan mengabdi bukan pengetahuan yang berkuasa melainkan kemampuan.[60] Dan tak seorang pun menyangka bahwa bahwa seorang warga negara yang biasa yang baik de facto dikuasai oleh sejumlah kontrol sosial dengan sejumlah kontrol sosial itu tidak terasa pembatasan terhadap kebebasan pribadi.[61]
Jadi yang dimaksud dengan sekolah kerja ialah sekolah yang pusatnya terletak pada keaktifan pribadi anak, jasmani maupun rohani dan dasar sekolah kerja pada umumnya bertentangan dengan dasar sekolah lama, konfendional, Sedangkan dasar-dasar sekolah kerja diantaranya:
1. Dalam sekolah kerja anak harus aktif berbuat. mengamati sendiri, mencari jalan pemecahan sendiri dalam kesukaran, memikirkan, dan memecahkan sendiri yang dihadapi dan berinisiatif.
2. Pangkal dan tujuan usaha pendidikan dan pengajaran harus terletak pada anak itu sendiri, tidak pada metode, bahan pengajaran atau guru.[62]
3. Sekolah kerja mendidik murid agar menjadi suatu kepribadian yang berani berdiri sendiri, bertanggung jawab untuk menjadi anggota yang baik dari suatu masyarakat. Inilah segi sosialnya.
4. Bahan pengajaran tidak diberikan terpisah-pisah melainkan sebagai suatu keseluruhan atai totalitas dengan suatu masalah hidup sebagai pusat.
5. Sekolah kerja tidak menginginkan pengetahuan sedia yang sebanyak-banyaknya yang diperoleh dengan hafalan dan menirukan, tetapi menghendaki pengetahuan dan keprigelan.[63]
6. Sekolah kerja menganggap bahwa pendidikan fikir tidak ada gunanya. tetapi anak harus dididik berfikir dengan mengalami seniri proses berfikir secara kanak-kanak.
7. Pendidikan akhlak merupakan suatu segi penting dalam pendidikan sosial. maka sekolah kerja harus merupakan suatu masyarakat, tempat mendapatkan latihan dan pengalaman yang amat penting artinya untuk pendidikan sosial, watak dan kecerdasan.
8. Sekolah kerja mendidik anak melalui berbagai ketrampilan agar suka bekerja produktif sesuai dengan bakatnya.[64]
Dari dasar-dasar diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya sekolah kerja yang merupakan perwujudan dari progresivisme pendidikan mempunyai keterikatan yang kuat dengan masyarakat dan upaya mengembangkannya melalui generasi mudanya. Karena bagaimanapun masyarakat tidak mampu mengadakan kegiatan pendidikan tanpa adanya sebuah intisari dengan tujuan tertentu begitu juga lembaga sekolah harus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat karena hal ini merupakan aturan yang benar untuk bekerja dengan baik.[65]
Keterangan-keterangan diatas merupakan gambaran tentang sekolah kerja. Sekolah kerja menurut John Dewey umumnya disebut pengajaran proyek atau metode soal maupun masalah. John Dewey yang menanamkan benih-benihnya tetapi yang menumbuhkan dasar itu menjadi suatu sistem pengajaran proyek atau metode (problem) itu ialah W.H. Kilpatrick.[66]
Pendidikan menurut Dewey ialah memberikan kesempatan untuk hidup. Hidup ini menyesuaikan diri dengan menyesuaikan diri dengan masyarakat, kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individual maupun rombongan untuk mendapatkan pengalaman sebagai suatu modal berharga dalam berfikir kritis serta produktif dengan berbuat susila. Dan sekolah yang dikehendaki oleh John Dewey adalah sekolah kerja dimana masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yan dibutuhkan oleh warganya unutk pendidikan agar tidak tergantung kepada dogma, melainkan pada cara berfikir bebas, berdisiplin, obyektif, kreatif dan dinamis.[67]
Disamping itu betapa pentingnya arti bekerja menurut Dewey, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman menuntunberfikir seseorang sehingga orang tersebut dapat bertindak benar dan bijaksana, pengalaman juga mempengaruhi budi pekerti seseorang, pengalaman itu sendiri terbagi menjadi pengalaman positif dan negatif.[68]
Kedua aspek inilah yang telah mendasari konsep sekolah kerja menurut john dewey yang pada dasarnya sekolah kerja menurutnya berdasarkan atas dua segi yaitu segi psikologis dan segi sosiologis.
1. 1. Dasar psikologis.
Yang termasuk dalam dasar psikologisnya diantaranya: cara memberikan pelajaran wajib disesuaikan dengan tingkatan perkembangan. cara berfikir. dan cara bekerja anak. Penentuan bahan pelajaran juga wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak sebagai akibat dari instingnya. Dewey mengenal 4 insting yaitu: 1). Insting sosial, 2). Insting membentuk dan membangun, 3). Insting menyelidiki, 4). Insting kesenian.
a) Insting sosial
Yang dimaksud dengan insting sosial adalah keinginan anak untuk mengadakan hubungan dengan orang disekitarnya. Ini dapat dilihat pada waktu anak bermain. Mereka bermain sebuah permainan bersama-sama dengan teman bermainnya. Frobel mengatakan bahwa teman adalah alat permainan yang terbaik. Disamping permainan masih ada alat penghubung sosial yang digunakan dalam pergaulan yaitu bahasa.[69] Bahasa tidak hanya merupakan suatu alat penghubung dalam pergaulan semasa anak hidup tetapi juga alat penghubung dengan generasi yang lampau dan generasi yang akan datang. Berhubung dengan insting sosial ini anak perlu diberi banyak kesempatan untuk bekerja bersama-sama dengan menggunakan bahasa sebaik-baiknya.[70]
b) Insting membangun dan membentuk.
Insting membangun dan membentuk dapat dilihat ketika anak bermain-main. Mereka membuat kolam, jembatan, rumah, roti, dan lain-lain dengan bahan yang belum berbentuk separti pasir, tanah, kayu, air dan sebagainya untuk kemudian dirusak, diperbaiki dan dirusak lagi.[71] Juga dalam hal insting membentuk pada anak. Dewey sependirian dengan Frobel.[72]
c) Insting menyelidiki.
Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Ia ingin mengetahui apa sebabnya mobilnya dapat berjalan, apakah isi perahunya, apakah bonekanya juga berdarah seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya. [73]
d) Insting kesenian.
Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannya agar menjadi lebih baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru saja selesai tidak ditinggalkan begitu saja. rumah itu dihiasi dengan berbagai alat, bendera, daun, bunga, tanaman, gambaran, dan lain sebagainya. Kesukaan anak untuk menari, menyanyi, menggambar dengan warna menmbah bukti bahwa pada anak ada insting kesenian itu.
1. 2. Dasar sosiologis.
Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu. Jika bahan pegajaran diambil dar masyarakat dan pengajarannya dilangsungkan di tengah masyarakat maka dapat dikatakan bahwa pengajaran dijalankan oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan dalam masyarakat.[74] Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu (anak) harus diabdikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka dari itu pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah sesuatu lembaga sosial.[75]
Berdasarkan sekolah kerja yang ia prakarsainya, masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendidikan warganya. Dan materi pelajaran disekolah harus diberikan secara terpadu dan dipraktekkan dalam masyarakat anak untuk memenuhi kebutuhannya. Pengalaman anak yang diperoleh di sekolah seharusnya dipakai untuk hidup dalam masyarakatnya dikemudian hari. Kehidupan seharusnya menjadi pusat bahan pengajaran (life central education).[76]
Dalam kaitannya dengan bahan pelajaran. sekolah kerja mengajak kita untuk mengingat sifat manusia, minat dicoba ditarik ke arah hal-hal yang menyenangkan, pada kenikmatan-kenikmatan yang langsung dan tidak pada rasa sakit atau penderitaan lain. Dan jalan keluarnya adalah dengan mempsikologikan bahan pelajaran, mengubah bahan-bahan pelajaran, mengembangkannya di dalam bentangan dan batasan-batasan wilayah kehidupan anak dengan membiarkan saja pelajaran apa adanya dan memakai metode tipuan untuk membangkitkan minat pada pelajaran- bukannya mempelajari apa yang diminati berusaha membuat pelajaran menjadi menarik- bukannya minat itu menentukan pelajaran.[77]
Berangkat dari hal diatas diketahui bahwasannya kekuatan-kekuatan anak saat ini yang harus mengemuka. potensi-potensinya saat ini mesti dilatih, sikap-sikapnya perlu diujudkan.[78] Disinilah letak tugas guru yang formil yang cenderung hanya mengembangkan minat. Sehingga mata pelajaran yang diberikan berpusat pada masalah yang bernilai fungsional untuk anak. Dengan jalan itu tidak akan terpisah antara teori dan prakteknya, sekolah dan masyarakat anak.[79]
Pada tahun 1896 Dewey memaklumkan dan mengusulkan suatu gagasan mengenai sekolah yang akan mendekatkan berbagai upaya teoritis dengan berbagai tuntunan praktis sebagai komponen yang paling esensial dari fakultas ilmu pendidikan.[80] Inilah awal penerapan sekolah kerja menurutnya. Yang menjadi inti kurikulum Dewey adalah apa yang disebut okupasi. yaitu suatu kegiatan anak yang meniru atau berfungsi secara paralel dengan berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sosial orang dewasa.[81] Kegiatan okupasional memiliki dua arah yaitu: terarah kepada studi ilmiah mengenai berbagai material dan proses yang terlibat dalam cara berfungsinya materi itu dan peran mereka di dalam masyarakat dan budaya. Maka dari itu fokus tematik bagi semua okupasi bukan hanya sebagai kesempatan untuk berbagai latihan manual dan studi sejarah melainkan juga untuk pengetahuan matematika, geologi, fisika, biologi, kimia, membaca, seni musik, dan bahasa.[82]
Dalam contoh sekolah diatas kita tidak hanya melihat bagaimana minat anak terhadap aktivitas khususnya sendiri (membuat kebun), melainkan bagaimana cara membuat sesuatu memungkinkan si anak berkenalan dengan berbagai metode pemecahan masalah ekperiemental dimana kesalahan merupakan bagian penting dari suatu proses belajar. Menyajikan kepada anak pengalaman langsung disertai berbagai situasi problematik yang mereka ciptakan sendiri.[83] Jadi sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahannya agar anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pengajaran wajib disesuaikan dengan tujuan itu. Antara berbagai tingkatan sekolah dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi harus ada satu organisasi yang sama.[84]
1. Pendidikan sosial dan kesusilaan.
Salah satu letak demokrasi pendidikan menurut Dewey terdapat pada pendidikan sosial dan kesusilaan yang ia gagaskan. Di sekolah Dewey tidak diutamakan kecerdasan walaupun kecerdasan penting tetapi bukan yang utama. Pendidikan kemasyarakatan dan kesusilaan menurut dewey amat erat hubungannya.[85] Disinilah sebuah sekolah harus merupakan suatu masyarakat kanak-kanak yang sesuai dengan tingkatan kemajuan anak.[86]
Bekerja sendiri dan bersama-sama disamping mengandung pendidikan kecerdasanyang amat penting artinya untuk pendidikan sosial juga merupakan pendidikan budi pekerti atau kesusilaan. Dewey merendahkan sekali pendidikan kesusilaan yang diberikan hanya dengan memberitahu dan menyuruh percaya pada dogma kesusilaan yaitu apa yang dinamai luhur dan apa yang dinamai hina. Pengalaman anak dalam bekerja harus dapat menumbuhkan pengertian dan minat terhadap kaidah hina dan luhur itu dan juga menimbulkan hasrat untuk berbuat luhur serta menghindari perbuatan hina.[87]
Tetapi pengertian minat dan hasrat belum cukup. Yang terpenting adalah perbuatan luhur.[88] Dengan bekerja sendiri dan bersama (memasak, memital, menenun, dan lain-lain) akan sampai pada kemampuan menyusun pembagian pekerjaan yang baik, memilih pemimpin dan penolongnya, bekerja bergotong royang, bersaing secara sehat, juga akan timbul suasana saling menceritakan pengalaman dan bertukar pikiran sehingga terciptalah tata tertib batin yaitu tata tertib atas dasar keinsyafan.[89]
Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan.Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Istilah paradigma ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul” The Structur of Science Revolution ”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Khun, ilmu dapat berkembang secara open-ended ( sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan).Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn, faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Secara singkat pradigma dapat diartikan sebagai ” keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)”.
B. Tahap – tahap Perkembangan Ilmu ( Progress Sains ).
Skema progress sains menurut Khun adalah sebagai berikut :
Pra paradigma - Pra Science - Paradigma Normal Science - Anomali - Krisis Revolusi - Paradigma Baru - Ekstra Ordinary Science- Revolusi.
Tahap – tahap perkembangan ilmu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Tahap Pra paradigma & Pra Science.
Pada stage ini aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir sebab tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena). Dari sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu dan di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri. Hal semacam ini berlangsung selama kurun waktu tertentu samapai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua aliran yang dianut ilmuan tersebut dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat mengatasi ketergantungan observasi pada teori.
2.Tahap Paradigma Normal Science.
Para tahap ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut didalamnya tercakup :
• Komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Contoh, hukum “gerak” Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
• Cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berba gai tipe situasi.
• Instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
• Prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
• Keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan statu hukum. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian science faktual, yaitu :
1. Menentukan fakta yang penting.
2. Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; ( seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu memecahkan masalah tersebut ).
3. Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja.
Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagaikelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma.
Dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.
3. Krisis Revolusi
Sasaran normal science adalah memecahkan teka-teki science dan bukan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya akan muncul gejala-gejala baru yang belum terjawab oleh teori yang ada. Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan anomali antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, serta anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang dapat menggoyahkan paradigma jika :
1. Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
2. Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Setiap krisis selalu diawali dengan pengkaburan terhadap paradigma yang ada serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada tahap ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan sebab tidak ada argumen logis yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigma. Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan individual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan“Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan “religious conversion” (pertukaran agama). Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil paradigma yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
a) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
b) Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan.
Oleh karena itu, para pendukung paradigma tidak akan saling menerima premis lawannya dan karenanya masing-masing tidak perlu dipaksa oleh argumen rivalnya. Menurut Kuhn, faktor-faktor yang benar-benar terbukti efektif yang menyebabkan para ilmuan mengubah paradigma adalah masalah yang harus diungkap oleh penyelidikan psikologi dan sosiologi. Karena hal itulah Kuhn dianggap sebagai seorang Relativis.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science.
Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner,yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek matter dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan. Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya dan berhasil mengatasi permasalahan itu maka revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
FILSAFAT SOSIOLOGI RITZER
Filsafat Sosiologi
( Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi Menurut Ritzer)
Syamsuddin Simmau
A. Pendahuluan
Diskursus sosiologi sebagai ilmu dan paradigma sosiologi dalam sudut pandang filsafat merupakan hal yang menarik untuk didalami. Sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat memiliki cakupan yang sangat luas, ia meliputi seluruh proses interaksi manusia secara subjektifitas dan intersubjektifitas. Karena itu, wajar jika Pitirim A.Sorokin (1947) menyebutnya superorganic karena sosiologi meliputi seluruh proses interaksi manusia dan hasil dari proses interaksi yang telah dilakukan manusia.
Demikian, kiranya cukup beralasan jika paper ini dibatasi pada pembahasan tentang Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi. Secara garis besar pembahasan ini mendeskripsikan beberapa pendapat mengenai sosiologi sebagai ilmu secara substantif dan juga mengenai tiga paradigma soiologi menurut George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2010).
Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk kembali merefleksi sosiologi secara historis dari zaman Yunani atau zaman Abdul Rahman Ibnu Khaldun, namun paper ini lebih memusatkan perhatian pada teori-teori sosiologi yang mengacu pada konsep-konsep yang dikembang Ritzer, yang ia sebut sebagai paradigma sosiologi. Paradigma sosiologi dimaksud adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Ketiga paradigram tersebut saling berkorelasi dengan grand theorysosiologi sebagai landasan sampai pada teori-teori sosiologi post-modern. Secara gamblang, Ritzer menjelaskan tiga paradigma tersebut dalam bukunya Sosiologi:Ilmu Berparadigma Ganda. Penjelasan mengenai paradigma ini juga dapat dijumpai pada Teori Sosiologi Modern (2010)yang ditulis George Ritzer dan Douglas J. Goodman.
Setelah melalui proses presentasi dan diskusi di dalam kelas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Arlina Gunarya, M.Sc, paper ini mengalami penyempurnaan tentang landasan filosofis Ritzer menurut persfektif filsafat ilmu sebagai respon positif terhadap saran dan tanggapan Dr. Arlina serta masukan dari rekan-rekan satu kelas. Karena itu, paper ini menyajikan Jejak Filosofis Ritzer dalam merumuskan pardigma integratif sebagai paradigma baru yang bersifat terbuka.
B. Pembahasan
1. Sosiologi sebagai Ilmu
Para ilmuwan telah jamak menganggap bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan (mater scientiarum). Pada mulanya, semua ilmu bermula dari filsafat. Demikian pula halnya dengan ilmu tentang masyarakat yang dikenal sebagai sosiologi. Setelah melalui perkembangan, seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, banyak ilmu memisahkan dari dari filsafat.
Astronomi (ilmu perbintangan) dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama-tama memisahkan diri dan selanjutnya mengalami perkembangan menuju tujuannya masing-masing. Ilmu kimia, biologi dan geologi kemudian juga memisahkan diri dari filsafat. Kemudian pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru muncul, yaitu; psikologi dan sosiologi (ilmu yang memperlajari tentang masyarakat).
Soerjono Soekanto (1995;4) menjelaskan bahwa seorang ahli filsafat bangsa Prancis bernama Auguste Comte (1798-1957) telah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan umum yang digunakan untuk mempelajari masyarakat. Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan memiliki urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai tahapan ilmiah. Karena itu, setiap penelitian tentang masyarakat harus ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Comte menggunakan istilah sosiologi yang berasal dari kata Latinsocius yang berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan demikian, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Disini, Comte menekankan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan kemasyarakat umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lainnya.
Sementara itu, George Ritzer & Douglas J. Goodman (2010:5) mengingatkan kembali bahwa sebenarnya sosiologi telah berkembang sejak zaman Yunani. Dan, salah satu hal penting yang patut dicatat adalah bahwa nama Abdul Rahman Ibnu Khaldun yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 juga diakui Ritzer sebagai seorang sosiolog, selain pelopor sosiologi seperti; Karl Marx (Jerman), Max Weber (Jerman), Emile Durkheim dan Goorg Simmel. Ritzer memandang bahwa pandangan Ibnu Khaldun tentang masyarakat mirip dengan sosiologi zaman sekarang.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat dideskripsikan bahwa filsafat dan sosiologi memiliki kedekatan yang erat sebagai ilmu pengatahuan. Jika dikaitkan dengan pandangan Comte yang menegaskan tentang pentingnya tahapan ilmiah dalam melakukan studi tentang masyarakat maka sosiologi secara konsisten juga sekaligus menjadikan filsafat sebagai sebuah pendekatan ilmiah yang menyaratkan metode berfikir ilmiah sebagai landasan penting dalam penelitian dan pendekatan-pendekatan mengenai masyarakat. Artinya, pendalaman tentang sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakatsangat penting dilakukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Suryo Ediyono dalam Buku Ajar Filsafat Ilmu (2010: 3) bahwa filsafat sebagai cara berfikir refleksi (mendalam),penyelidikan menggunakan alasan, serta berfikir secara hati-hati.
Pitirin A.Sorokin dalam Society, Culture, and Personality (1947:3-7) memiliki pandangan tersendiri mengenai studi tentang masyarakat. Disini Sorokin menggunakan istilah superorganic. Istilah superorganic yang dimaksud adalah sosiologi. Dia berangkat dari penjelasannya bahwasuperorganic sejajar dengan seluruh karsa dan rasa dengan manifestasi-manifestasi yang dikembangkan dengan jelas. Dalam hal ini penomenasuperorganic meliputi bahasa, ilmu pengetahuan dan filsafat, agama, seni rupa, arsitektur, musik sastra, drama, hukum dan etika, moral dan perilaku, pengembangan teknologi, domestikasi, bahkan pelatihan binatang dan sebagainya. Superorganic ditemukan dengan jelas pada interaksi manusia dan produk-produk dari interaksi tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sosilogi adalah ilmu tentang masyarakat yang meliputi seluruh interaksi yang terjadi serta produk yang tercipta sebagai hasil dari keseluruhan proses interaksi yang terjadi.
2. Paradigma Sosiologi
Menurut Ritzer dan Goodman (2010), ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi yang berpotensi untuk mencapai status paradigma. Ketiga paradigma itu adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
2.1. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial menggunakan model karya Emile Durkheim terutama dalam karya Durkheim mengenani The Rules of Sociological Method dan Suicide. Menurut Durkheim, fakta sosial atau struktur dan institusi sosial memiliki skala yang luas meliputi tidak hanya pada penomena fakta sosial semata tapi juga memusatkan perhatian pada pikiran dan tindakan individu.
Dalam hal ini, teori struktural fungsional dipandang memiliki peran yang signifikan karena cenderung berkarakter stabil sehingga lebih mengacu pada konsesus umum. Sedangkan teori konflik lebih menekankan pada instabilitas (kekacauan) antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui aturan dan hukum yang memaksa masyarakat. Teori lain yang termasuk mendukung paradigma ini adalah teori sistem.
2.2. Paradigma Definisi Sosial
Model yang dominan dalam paradigma fakta sosial adalah teorisocial action karya Max Weber. Karya ini membantu mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka. Ia juga membantu dalam mempelajari pengaruh definisi sosial terhadap tindakan sosial dan interaksi yang terjadi selanjutnya.
Metode yang cenderung digunakan oleh mereka yang menganut paradigma ini adalah metode observasi ketimbang metode lainnya. Meski demikian metode interview-kuesioner juga menjadi bagian integral dari paradigma ini.
Ada beberapa teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial, seperti teori tindakan, interaksionisme simbolik,fenomenologi,etnometologi, dan eksistensialisme.
2.3. Paradigma Perilaku Sosial
Model dasar yang digunakan paradigma perilaku sosial adalah karya psikolog B.F. Skinner. Karena menurut penganut paradigma ini, masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tidak dipikirkan. Paradigma ini mengacu pada pemberian reward dan punishment.
Teori yang relevan dengan paradigma ini adalah teoribehaviorisme sosial dan teori pertukaran. Kedua teori ini mendonominasi para penganut paradigma perilaku sosial. Dengan demikian, metode yang sesuai adalah metode eksperimen.
2.4. Menuju Paradigma Integratif
Berdasar pada ketiga paradigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, Ritzer mengajukan gagasan tentang paradigma sosial integratif. Menurutnya, model paradigma ini mampu menjelaskan kesatuan realitas makro objektif, seperti birokrasi, realitas makro subjektif seperti nilai, fenomena mikro objektif seperti polainteraksi, dan fakta mikro objektif seperti proses konstruksi realitas. Dalam hal ini, Ritzer mekankan perlunya penerapan ketiga paradigma sosiologi sebagai paradigma integratif yang saling berkorelasi satu dengan lainnya. Meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai jalan keluar atas “kekacauan” kebuntuan teori-teori sosial nama tetap membuka ruang terhadap lahirnya paradigma-paradigma baru.
Dalam pandangan Ritzer, kini sosiologi berada pada tahap krisis karena terjadinya chaos teori-teori sosiologi modern, bahkan post modern. Meski demikian, tidak pupus harapan bahwa meskipun teori-teori sosiologi kini sedang berada pada situasi chaos namun, tetap saja ada peluang untuk lahirnya ide-ide baru yang akan melahirkan teori-teori yang berkontribusi penting pada sosiologi.
2.5. Dari Heraklitus hingga Ritzer: Menyusuri Jejak Paradigma Integratif Ritzer
Telah disampaikan sebelumnya bahwa meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai paradigma baru yang dipandang mampu menjadi paradigma yang lebih komprehensif dalam membahas masalah sosial, namun Ritzer tetap membuka ruang bagi lahirnya paradigma baru, karena ia memandang paradigma sosiologi saat ini berada pada masachaos.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa Ritzer menjadikan pemikiran Thomas Khun (1922-1996) sebagai landasan paradigma sosial yang ia bangun. Menurut Khun (Yuana, 2010:373) bahwa terjadi revolusi intelektual yang membalikkan perjalanan panjang jalur filsafat konservatif. Periode “normal” ditandani dengan tingkat independensi dan objektifitas rendah, dan lebih banyak menyetujui asumsi dan hasil yang sudah diharapkan. Selama periode “normal” ini, jika terjadi anomali hasil penelitian atau hasil di luar dari yang diharapkan, hasil ini akan dikesampingkan dan dianggap tidak relevan atau sebagai masalah yang akan diselesaikan lain waktu.
Menurut Khun, incommensurability (ketidakproporsionalan) yang menolak bahwa ilmu pengetahuan bergerak maju ke arah kebenaran hakiki. Kejadian penolakan paradigma lama, menurut Khun, untuk menerima hal yang baru justru meniadakan kemungkinan perbandingan. Karena itu, Khun berpendapat bahwa pandangan ilmuwan terhadap dunia mengalami perubahan yang ekstrim dengan munculnya paradigma baru sehingga tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif dengan paradigma lama. Khun mencontohkan bahwa Copernicus mengemukakan pandangannya tentang astronomi, yaitu zaman dimana bumi mengelilingi matahari yang dikenal dengan teori heliosentris. Sejak itu, pandangan tentang semesta benar-benar mengalami perubahan karena paradigma lama yang memandang matahari yang mengelilingi bumi tergantikan dengan paradigma baru yang mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Selanjutnya paradigma heliosentris mendapat dukungan kuat dari Galileo Galilei(1564-1642) dengan penemuan teleskop.
Teori Khun dapat dilukiskan dengan diagram (Ritzer, 2010:A-12) berikut:
Paradigma I Ilmu Normal Aanomali Krisis Revolusi Paradigma II
Dengan demikian, setiap paradigma akan terus mengalami perubahan setelah melalui proses seperti yang digambarkan pada diagram di atas. Berangkat dari diagram di atas, Ritzer tetap membuka ruang untuk ide-ide baru bagi lahirnya paradigma yang baru pula.
Selain Khun, pemikiran Pierre Bourdieu (Ritzer,2010: A-7) yang menginginkan sosiologi sebagai refleksi juga melandasi pikiran Ritzer.Bourdieu menolak pemisahan metateori dari apek studi sosiologi lainnya.Bourdieu yakin bahwa sosiolog akan mampu terus menerus bersikap refleksi ketika melakukan analisis sosiologis. Proseses refleksi sosiolog jelas membuka peluang-peluang baru terhadap paradigma baru. Hal inilah yang mendasari Ritzer untuk mengelompokkan paradigma sosiologi dalam tiga paradigma menuju paradigma integratif.
Nama lain, yang hidup sezaman dengan Ritzer, Jacques Derrida(1930-2004), rupanya juga mendasari pemikiran Ritzer. Derrida dikenal dengan teori dekonstruksi yang menyatakan bahwa interpretasi sangat memungkinkan terjadinya perbedaan antara pemberi tanda dengan penerima tanda, yang artinya objektifitas interpretasi menjadi tidak mungkin. Teori dekonstruksi Derrida cenderung mendekonstruksi pemikiran “mapan”. Pemikiran Derrida berlandas pada filsafat Saussure tentang strukturalisme bahasa dengan artian bahwa sebuah tanda (sign) yang dibangun oleh hubungannya dengan tanda-tanda lain, sekaligus perbedaan dengan tanda-tanda lain dalam sebuah sistm konsep.
Nama Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) yang merupakan seorang filsuf psikologi tentu tidak dapat dilepaskan dari paradigma integratif tawaran Ritzer. Korelasi pikiran dua tokoh ini sangat erat. Skinner merupakan filsuf Prancis beraliran filsafat behaviorismeradikal. Skinner menerapkan filsafatnya bukan hanya pada level individu, tapi juga pada level masyarakat berupa ide teknologi perilaku (cultural technology) yang mampu melakukan rekayasa kebudayaan (cultural engineering) untuk melancarkan revolusi kebudayaan, sebagaimana yang Skinner sebut sebagai Darwinisme Sosial. Karena rekayasa kebudayaan memiliki peluang besar terjadi dalam sistem sosial maka dengan sendirinya akan terjadi perubahan terus menerus, sebagaimana disebut Charles Darwin dengan teori evolusinya.
Andaikan Ritzer “malu-malu” menyebut nama Jean Paul Sartre(1905-1980) maka tentulah Ritzer mengabaikan asaz kebebasan manusia untuk terus melakukan pergerakan dalam menjalani kehidupannya. Tentu saja, jika merujuk pada paradigma integratif yang tetap membuka ruang pada terciptanya paradigma baru maka pikiran Sartre patut diperhitungkan sebagai bagian yang berperan dalam pemikiran Ritzer.
Menurut Sartre, tidak pernah ada yang memaksa manusia. Manusia selalu dihadapkan pada pilihan dalam setiap aspek kehidupannya. Jadi manusia selalu memiliki pilihan walaupun konsekwensinya adalah kematian. Karenanya kebabasan manusia untuk memilih tidak pernah hilang.
Meskipun pemikiran Ritzer tidak terang-terangan mengatakan bahwa filsafat pragmatisme John Dewey (1859-1952), namun pemikiran Dewey, khususnya dalam menentukan kebenaran yang harus melalui proses pengujian ilmiah jelas mendasari pikiran Ritzer.
Dewey mengemukakan lima langkah pencarian kebenaran, yaitu:Pertama, kondisi kebiasaan yang menjadi pengetahuan tiba-tiba berubah. Saat itu, pikiran akan segera bekerja untuk mencari penjelasan. Kedua,pencarian unsur-unsur dari situasi untuk merumuskan permasalahan yang ada. Ketiga, penyusunan dugaan-dugaan atau hipotesis secara kreatif yang mungkin menjadi jawaban terhadap persoalan yang disusun pada uraian kedua. Keempat, pengidentifikasian hipotesis dan pencarian urutan tingkat kebenarannya. Kelima, pengujian untuk menentukan hal manakah yang benar.
Karena pencarian kebenaran harus terus diuji sesuai tahapan Dewey maka setiap perubahan membutuhkan penjelasan ilmiah. Pada saat bersamaan, pencarian kebenaran tersebut jelas mengalami pergerakan yang terus berlangsung. Dengan demikian, pencarian kebenaran dimaksud berpotensi melahirkan paradigma baru sebagai jawaban atas pencaraian kebenaran yang dilakukan.
Pikiran Ritzer yang dituangkan dalam McDonaldisasi Masyarakat (McDonaldization of Society) jelas berhubungan secara historis filosofis dengan Karl Marx. Kalau Ritzer menyoroti tentang “overrasionalitas” pada perusahaan cepat saji seperti McDonald sementara Karl Marx menjelaskan pola kerja kapitalisme dalam hubungan pekerja dan majikan, yang dinilai Marx sebagai pola kerja yang tidak seimbang dalam memperoleh keuntungan.
Sementara itu, teori evolusi Charles Robert Darwin (1809-1892) yang menekankan bahwa alam ini memiliki mekanisme yang mengatur bahwa siapakah yang selamat dan terus hidup dan siapakah yang harus mati, yang ia sebut seleksi alam. Selanjutnya Darwin mengatakan bawah setiap organ, mengalami perubahan sedikit demi sedikit yang ia sebut evolusi. Dengan demikian, pikiran Thomas Khun yang mewarnai pikiran paradigma Ritzer jelas memiliki landasan evolusi Darwin. Hanya saja, Darwin lebih menekankan pada evolusi organ sementara Khun dan Ritzer pada perubahan yang puncaknya mengalami revolusi sehingga dibutuhkan paradigma baru.
Penganut teori evolusi lainnya, Henri Louis Bergson (1859-1941) dengan sendirinya juga menjadi dasar lahirnya paradigma-paradigma baru. Bergson berpendapat bahwa kejadian alam semesta ini adalah hasil dari interaksi yang terus menerus antara daya hidup (elan vital) dan materi. Meskipun Bergson lebih menekankan pada perubahan alam, namun perubahan yang terjadi pada masyarakat jelas juga memiliki korelasi paralel dengan perubahan yang terjadi pada alam semesta. Dengan demikian, cukup beralasan jika pandangan Bergson ini memiliki kaitan dengan perubahan paradigma menurut pandangan Ritzer.
Membaca filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang mengatakan bahwa kebenaran hakiki pelan-pelan akan terkuak seiring rentang evolusi sejarah perjalanan pemikiran filsafat juga dengan nyata dapat menjadi alasan Ritzer menawarkan konsep paradigma baru. Hegel mengajukan konsep dialektika yang dimulai dengan tesis yang mula-mula dianggap benar. Lalu refleksi menemukan kontradiksi dalam tesis yang oleh Hegel disebut antitesis dengan kekuatan legitimasi yang sama. Pertentangan tesis dan antitesis ini memunculkan ide ketiga yang disebutsintesis.
August Comte (1798-1857) yang dianggap sebagai Bapak Sosiologi jelas menjadi landasan utama pikiran Ritzer. Menurut Comte, perkembangan tatanan sosial dan ilmu pengetahuan diawalai dengan tahapteologi lalu berkembang pada tahap metafisika kemudian berkembang menjadi tahap pengetahuan positif yang tentu saja terus mengalami perkembangan berdasarkan pandangan Khun tentang anomali.
Aristoteles (384-322 SM) adalah filsuf yang menguasai banyak ilmu pengetahuan. Dia dikenal sebagai filosof yang selalu menampilkan data yang sangat kaya dan terklasifikasi dengan baik. Karena itulah, Aristoteles dianggap sebagai Bapak Ilmu Empiris dan Metode Ilmiah. Dia mengemukakan etika bahwa manusia yang bertindak dengan pikiran yang rasional dan bijaksana untuk tujuan kebajikan.
Metode ilmiah yang dikembangkan Ritzer jelas berangkat dari metode yang dikemukakan Aristoteles. Selain landasan metodologis, Aristoteles juga mengatakan bahwa alam semesta bergerak menuju kepada tujuan tertentu namun tidak menjelaskan kapan tujuan itu tercapai. Jika memperhatikan paradigma Ritzer yang membuka diri terhadap lahirnya paradigma baru maka pergerakan semesta versi Aristoteles yang menuju tujuannya juga akan mengalami perubahan-perubahan. Dengan demikan, maka benarlah Khun yang menjadi landasan pikiran Ritzer bahwa dari anomali akan terjadi krisis, lalu mengalami revolusi kemudian melahirkan paradigma baru dalam persfektif sosiologis.
Pandangan Plato (427-347 SM) yang mengatakan bahwa realitas yang hakiki adalah Realitas Yang Abadi, tidak berubah. Namun ada realitas lain yang merupakan cerminan realitas abadi itu. Realitas cerminan ini bersifat ilusif, berubah dan fana. Bila dikaitkan dengan Ritzer maka Realitas Yang Abadi yang tidak berubah itu, sebagaimana disebut Plato, bertentangan dengan pandangan Thomas Khun. Namun, jika dihubungkan dengan cerminan realitas seperti disebut Plato maka jelas terlihat betapa pendapat Khun berangkat dari Plato. Dengan demikian, paradigma baru yang bisa saja lahir dari ide-ide baru sebagai respon terhadap pemikiran sosioal yang chaos menurut Ritzer berkaitan dengan realitas cerminan Plato.
Sekitar 600 tahun Sebelum Masehi (SM) sampai 540 tahun SM,Heraklitus mengatakan bahwa semua hal di alam ini selalu berubah, mengalir, tidak diam, penuh persaingan dan bersifat abadi jelas menjadi akar paradigma yang dikemukakan Ritzer. Bahwa kondisi paradigma yang terjadi saat ini berada pada situasi chaos yang memungkinkan lahirnya ide-ide baru sangat beralasan jika berdasar pada pendapat Heraklitus tersebut.
Deskripsi singkat beberapa pemikiran filosof yang dikemukakan di atas semakin memperjelas jejak landasan pemikiran Ritzer tentangParadigma Integratif yang bersifat terbuka terhadap lahirnya ide-ide baru yang berpotensi besar melahirkan paradigma yang lebih baru pula sebagai respon atas fenomena sosial.
C. Penutup
Teori-teori sosiologi memiliki peranan penting dalam melakukan studi tentang masyarakat. Teori fungsionalisme struktural, neofungsionalisme, teori konflik, teori sistem, teori interaksionisme simbolik, etnometodoligi, teori pertukaran, teori jaringan, teori pilihan rasional, teori fenisme modern, teori modernitas kontemporer, teori strukturalisme, post strukturalisme dan teori-teori sosial post-modern menjadi paradigma penting dalam sosiologi.
Ide Filsuf, Thomas Khun yang kemudian diperjelas oleh Ritzer dan Goodman dengan mengusung paradigma integratif karena Ritzer mengangap bahwa kini teori-teori sosiologi berada pada kondisi chaos. Namun, selalu saja ada harapan, ide-ide baru akan lahir untuk memberi sumbangsi penting bagi sosiologi pada masa mendatang.
FILSAFAT MANUSIA; Siapakah Manusia?
A. Pendahuluan
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam,1999)
B. Hakekat manusia
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
No Eksistensi manusia Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives) Basic Human Values (Basic Islamic Values) Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
1 Al Insan Rasa ingin tahu Intelektual Intelektual
2 Al Basyar Rasa lapar, haus, dingin Biologis Biologis
3 Abdullah Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada tuhan Spiritual Spiritual
4 An-Nas Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian Sosial Sosial
5 Khalifah fil ardli Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan Estetika Estetika
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
C. Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
D. Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
Hubungan Antara Motivasi dengan Pelaku
Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilaku, menurut Kartini Kartono motivasi menjadi dorongan (driving force) terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh individu lain/ organisasi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi)
Kreativitas sebagai modal utama
Istilah kreativitas digunakan untuk mengacu pada kemampuan individu yang
mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan
wawasan segar yang sangat bernilai bagi individu tersebut. Kreativitas dapat juga
dianggap sebagai kemampuan untuk menjadi seorang pendengar yang baik, yang
mendengarkan gagasan yang datang dari dunia luar dan dari dalam diri sendiri atau dari
alam bawah sadar. Oleh karena itu, kreativitas lebih tepat didefinisikan sebagai suatu
pengalaman untuk mengungkapkan dan mengaktualisasikan identitas individu seseorang
secara terpadu dalam hubungan eratnya dengan diri sendiri, orang lain, dan alam. Haidar
Bagir, CEO Mizan Publishing dalam kuliah manajemen inovasi dan kreativitas
mendefinisikan kreativitas sebagai gagasan baru, orisinal, dan tepat sasaran
(appropriate). Kreativitas dan inovasi, kata Haidar, saling berdekatan dan berkaitan.
Kreativitas muncul di karya seni sedangkan inovasi, fase lanjut dari kreativitas, dekat dengan sains terapan dan teknologi. (www.itb.ac.id, diakses 19 Desember 2008)
Kreativitas sering dianggap terdiri dari 2 unsur, Pertama: Kefasihan yang ditunjukkan
oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara dini
dan cepat. Kedua: Keluwesan yang pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk
menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk memecahkan suatu
masalah.
Andangsari, (2005) dalam web Forum Komunikasi dan Informasi Universitas Bina
Nusantara (diakses 19 Desember 2008) menyatakan kreatifitas dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menempatkan sejumlah objek-objek yang ada dan
mengkombinasikannya menjadi bentuk yang berbeda untuk tujuan-tujuan yang baru.
Kreatifitas meliputi 3 hal :
1. Kreatifitas merupakan Kemampuan (Ability)
Yaitu suatu kemampuan untuk membayangkan atau menemukan suatu hal yang baru
2. Kreatifitas merupakan Sikap (Attitude)
Yaitu kemampuan untuk menerima perubahan dan sesuatu yang baru
3. Kreatifitas merupakan sebuah Proses (Process)
Orang yang kreatif merupakan orang yang terus-menerus membuat perubahan dan
perbaikan secara bertahap pada pekerjaan mereka.
Pengaruh Modernisasi, Motivasi dan Etos Kerja
Ketika gelombang modernisasi dan industrialisasi masuk yang ditandai dengan adanya
perubahan mode of production, ia menyeret serta urbanisasi dan keragaman industri ke
dalam suatu masyarakat majemuk baru yang lebih dinamis. Modernisasi yang menurut
Giddens berpola refleksif
(dalam Suharko, 1997) menyebabkan kultur urban yang
tercipta ini senantiasa ditandai dengan antara lain berkembangnya kreativitas. Kreativitas
berkembang dan menemukan lahannya tersendiri sebagai bagian dari fenomena
perkembangan model industrialisasi. Industri kreatif mengkonstruksi pelaku industrinya
sesuai dengan talenta yang dimilikinya.
Modernisasi refleksif menurut Giddens adalah modernisasi yang dapat merespon perkembangan yang
berbeda, yang tengah berlangsung, yakni globalisasi yang melanda dan mengubah kehidupan personal
hingga pada kondisi ketidak pastian.
Dalam industri kreatif, ciri utamanya adalah kreativitas, keahlian dan talenta yang
berpotensi meningkatkan kesejahteraan melalui penawaran kreasi intelektual. Industri
kreatif terdiri dari penyediaan produk kreatif langsung kepada pelanggan dan pendukung
penciptaan nilai kreatif pada ciri lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan
pelanggan. Produk kreatif mempunyai ciri-ciri: siklus hidup yang singkat, risiko tinggi,
margin yang tinggi, keanekaragaman tinggi, persaingan tinggi, dan mudah ditiru. Kondisi
yang demikian ini menuntut para pekerja di sektor industri kreatif untuk selalu mampu
berinovasi melahirkan ide-ide baru. Keharusan melahirkan ide-ide baru yang sangat
dinamis ini menyebabkan pentingnya bagi pekerja sektor industri kreatif untuk selalu
menjaga motivasi dan etos kerja mereka.
David McClelland
melalui teori modernisasinya dengan perspektif psikologi sosial
tentang dasar-dasar psikologi dan sikap manusia, melihat aspek pertumbuhan ekonomi
sebagai awal perkembangan budaya. Sebagai sebuah ciri internal yakni pada nilai-nilai
dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan,
dorongan internal untuk membentuk dan merubah nasib sendiri. Didasarkan pada studi
McClelland dalam the achieving society
adanya kaitan antara khayalan dengan dorongan
dan perilaku dalam kehidupan mereka yang dinamakan the need for achievement
(N’Ach) yakni nafsu untuk bekerja secara baik, bekerja tidak demi pengakuan sosial atau
gengsi tetapi dorongan kerja demi memuaskan batin dari dalam. Bagi mereka yang
mempunyai dorongan need for achievement tinggi akan bekerja lebih keras, belajar lebih
cepat dan sebagainya. Sektor industri kreatif dengan tuntutan perubahan ide dan desain
yang sangat cepat dan dinamis membutuhkan para pekerja yang mempunyai dorongan
need for achievement tinggi.
Weber berpendapat bahwa ciri wiraswastawan protestan, calvinisme tentang takdir yang
mendorong mereka untuk merasionalkan kehidupan yang ditunjukkan oleh Tuhan,
3 David McClelland, seorang Psikolog Amerika yang terkenal dengan teorinya tentang N-Ach dalam
bukunya The Achievement Motive In Economic Growth, 1984.
4 Studi McClelland bersama Inkeles dan smith, 1961 diterbitkan D.Van Nostrad, New York, juga
merupakan ringkasan dari buku terkenal McClelland The Achievement Motive In Economic Growth, 1984
mereka memiliki need for achievement yang tinggi. Yang dimaksud Weber dengan
semangat kapitalisme tersebut adalah dorongan need for achievement yang tinggi. Di sini
Weber melalui The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958) memberikan
pandangan mengenai asal-usul semangat atau etos kerja tertentu yang akhirnya
membentuk kapitalisme modern berkembang dan mendominasi perekonomian. Menurut
Weber, semangat kapitalisme bukan hanya sekedar mencari keuntungan ekonomi semata,
namun sebaliknya, merupakan sebuah sistem etika dan etos kerja yang menjadi
pendorong terjadinya kesuksesan ekonomi. Weber mengaitkan antara suatu etos
(keberagamaan) dengan semangat dalam bidang kesuksesan ekonomi yang dalam
konteks industri kreatif ini merupakan mesin penghasil ide-ide kreativitas. Melalui
pandangan Weber tentang semangat kapitalisme berupa etos kerja produktif kreatif yang
dipandang sebagai suatu sistem normatif yang berisi sejumlah ide yang saling terkait,
misalnya, tujuannya yang yang mengajarkan “sikap yang mengupayakan keuntungan
secara rasional dan secara tersistematis” (Weber, 1958 dalam Ritzer dan Goodman, 2004)
Di sisi lain, McClelland berpendapat bahwa need for achievement selalu berkaitan
dengan pertumbuhan ekonomi yang dalam dunia kerja mempengaruhi semangat dan
motivasi serta etos kerja sehingga mempengaruhi tinggi rendahnya motif antara lain need
for power dan need for affiliation. Kebutuhan untuk Afiliasi (N-Affil) berarti orang
mencari hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain dan kebutuhan akan
kekuasaan untuk dapat memiliki fleksibilitas dan mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuannya secara efektif. McClelland menolak pandangan ekonom bahwa
dorongan utama wiraswastawan adalah sekedar motif mencari keuntungan. Baginya
perilaku wiraswasta tidak semata sekedar mencari uang, melainkan dorongan
achievement tadi. Bagi McClelland, kebudayaan khususnya ekonomi merupakan ciptaan
kreatif dari dinamika manusia yang memiliki need for achievement yang tinggi, dorongan
tersebut dapat diukur yang disebut sebagai dorongan berprestasi.
Berbeda dengan McClelland, Clayton Alderfer, dalam Siagian (2008) mengemukakan
teorinya tentang motivasi yang terkenal dengan akronim “ERG”. Akronim ini mengacu
pada istilah Existence, Relatedness dan Growth. Existence menurut Alderfer adalah yang
berhubungan dengan kebutuhan fisiological dan keamanan fisik, mental, psikologikal,
dan intelektual. Sementara Relatedness adalah mengenai kebutuhan sosial, prestise dan
simbol-simbol status. Dan Growth sendiri merupakan kesempatan pengembangan potensi
melalui aktualisasi diri.
Dalam teorinya ini yang didasarkan pada sifat pragmatisme manusia yang menyadari
kondisi obyektif akan hal-hal yang memungkinkan untuk dicapainya, Alderfer
mengemukakan bahwa, ketika suatu kebutuhan tertentu tidak terpenuhi, maka akan
semakin besar pula dorongan motivasi untuk memuaskannya. Ketika suatu kebutuhan
telah terpuaskan, maka akan timbul kemudian dorongan untuk memuaskan kebutuhan
yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, ketika semakin sulit untuk memuaskan kebutuhan
yang tingkatnya lebih tinggi, maka akan semakin besar keinginan untuk memuaskan
kebutuhan yang lebih mendasar.
Kesimpulan
Faktor etos kerja dan motivasi menjadi kunci penting bagi keberlanjutan industri yang
berbasis pada kreatifitas. dengan karakteristik dasar industri kreatif yang berkembang
sangat dinamis dan rawan duplikasi dan replikasi, setiap pelaku industri kreatif
membutuhkan dorongan need for achievement yang tinggi agar dapat terus eksis di dunia
kreatifitas dalam era saat ini. Era yang oleh Giddens disebut dalam era modernisasi
refleksif dengan ketidakpastian situasi dan kultur urban yang cepat. Perkembangan
industri kreatif yang bermodalkan etos kerja dan motivasi tinggi dari para pelakunya oleh
Weber dan McClelland menjadi perwujudan dari rasionalisasi semangat kapitalisme
berupa pencapaian kesuksesan di bidang ekonomi dengan mempunyai dorongan atau
kebutuhan untuk terus mengembangkan potensi diri
Jenis jenis talenta manusia
Terkadang kit a menilai seorang anak ,terlebih bagi mereka yang masih sekolah hanya dari segi kemampun Logika(Matematika,fisika,dll) atau kemampuan berbahasanya .Sesungguhnya kita sebagai manusia sudah diberikan kemampuan atau talenta yang berbeda beda dan unik dari Bapa kita,namun demikian jarang orang menyadari itu.kita semua memang dibekali 9 talenta berikut , namun demikian pasti ada 1 yang paling menonjol dari diri kita.
Berikut adalah tipe atau jenis-jenis karakter yang dimilki manusia:
1.Logika : anak dengan bakat ini memiliki kelebihan dibidang hitung menghitung,gemar memecahkan rumus2 yang rumit dan biasanya anak dengan talenta ini akan ungul dalam pelajaran matematika dan sejenisnya.
2.Linguistik :anak dengan talenta ini biasanya pandai berbahasa , gemar denga karya satra dan hal2 yang menyangkut kesastraan.
3.Spasial :anak dengan talenta unik ini tertarik pada hal hal yang berbau statistic,pandai membaca peta .
4.Musik :anak dengan kemampuan ini akan sangat tertarik dengan musik,mudah mendalami alunan musikmdari dalam jiwa nya dan memilki nilai seni yang tinggi.
5.Kinestetik :anak dengan talenta ini sangat gemar berolahraga,tidak suka hanya berdiam diri dan ingin selalu aktif.akan mudah mengingat seuatu jika menyentuh lansung.
6.Interpersonal:sangat gemar dengan hal yang berbau keorganisasian atau kebersamaan,mampu memahami perasaan orang lain dengan baik, sifatnya ekstrofet.
7.Intrapersonal:mampu memahahi diri sendiri dengan baik,disiplin yang kuat.biasanya anak dengan talenta ini akan mudah memahami sesuatu jika menyendiri.
8.Natural :anak dengan talenta ini sangat menikmati saat-saat dengan alam, mencintai alam sekitar termasuk suka memelihara hewan .
9.Eksistensial :anak dengan kemmpuan terakhir ini mimiliki pemahaman filosoi yang tinggi , suka menanyakan hal2 tentang kehidupan ,misal : “akan kemanakah kita saat nanti kita mati??” dan memiliki tingkat moralitas yang tinggi.
Ferdinand Tonnies
FERDINAND TONNIES
A. Biografi Ferdinand Tonnies
Ferdinand Tonnies lahir di Schleswig, Jerman Timur pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Sepanjang hidupnya ia bekerja di universitas kota Kiel. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dan ia jugalah yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiological Association ( 1909, bersama dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya ). Ferdinand Tonnies memiliki berbagai karya diantaranya Gemeinschaft dan Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology). Diakhir usianya Tonnies adalah seorang yang aktif menentang gerakan NAZI di Jerman dan seringkali ia diundang menjadi Professor tamu di University of Kiel, setelah hampir masa hidupnya ia gunakan untuk melakukan penelitian, menulis, dan mengedit karya para sosiolog dimasanya.
B. Dua Tipe Masyarakat
Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses – proses biologis. Masyarakat adalah ciptaan karya manusia sendiri. Masyarakat adalah usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi – relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia yang mendasari masyarakat. Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara Zweckwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai suatu tujuan dan Triebwille, yaitu dorongan batin berupa perasaan. Zweckwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu dan mengambil tujuan rasional kearah itu. Biasanya di bidang ekonomi orang yang hendak mencari keuntungan atau jasa – jasa pelayanan di dorong oleh “Zweckwille”. Rangka tujuan itu mereka mendirikan kongsi- kongsi atau mengadakan relasi – relasi dagang, dimana bukan relasi sendiri menjadi pertimbangan melainkan tujuan yang mau dicapai melalui relasi itu. Dalam pencapaian tersebut, yang menuntun mereka adalah suatu pertimbangan rasional seperti materi, keuntungan, dan sebagainya. Zweckwille ini terlihat menonjol pada kalangan pedagang, ilmuwan, dan pejabat-pejabat yang kesemuanya mementingkan sikap yang rasional. Sedangkan dalam Triebwille, meliputi sejumlah langkah atau tindakan yang tidak hanya berasal dari akal budi, melainkan dari sifat, perasaan, hati dan jiwa seseorang yang bersangkutan Triebwille bersumber pada selera perasaan, kecenderungan psikis, kebutuhan biotis, keyakinan, maupun perasaan seseorang. tradisi atau keyakinan orang. Sehingga konsep ini menggambarkan dalam mengambil keputusan mengenai tujuan tertentu, seseorang dipengaruhi oleh perasaannya. Zweckwille ini terlihat pada kalangan petani, rakyat sederhana, seniman dan orang-orang yang lebih menggunakan perasaan dalam pekerjaannya. Misalnya, orang bekerja sama karena senang dengan keramaian atau karena ingin belajar atau mau menolong atau merasa diri berguna, kreatif dan sebagainya.
Triebwille paling menonjol dikalangan petani, orang seniman, rakyat sederhana, khususnya wanita dan generasi muda. Zweckwille lebih menonjol di kalangan pedagang, ilmuwan dan pejabat – pejabat umumnya orang – orang tua bersikap lebih rasional dan berkepala dingin daripada orang muda. Distringsi tersebut ini langsung berpengaruh atas corak dan cirri interaksi orang dalam kelompok atau masyarakat, sehingga kita dapat membedakan antara dua tipe masyarakat. Dengan konsep inilah corak dan ciri masyarakat terbagi, yakni menjadi gemeinschaft dan gesselschaft. Menurut Selo Soemarjan dan Solaeman Soemardi, gemeinschaft atau paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama yang sesuai dengan triebwille. Kebersamaan dan kerja sama tidak diadakan untuk mencapai tujuan dari luar, melainkan lebih dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Sehingga orang lebih merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan tersendiri karenanya. Sedangkan gesselschaft lebih menggambarkan suatu kehidupan bersama yang sesuai dengan zweckwille. Gesellschaft atau petembayan ini lebih mengasosiasikan dimana suatu relasi kebersamaan dan kesatuan timbul dari faktor-faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dan sebagainya. Unsur-unsur individu beserta masing-masing kepentingan dalam pencapaian suatu tujuan lebih ditonjolkan.
Seperti dibicarakan sebelumnya, Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Gemeinschaft adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuai dengan “triebwille”. Kebersamaan dan kerja sama tidak diadakan untuk mencapai suatu tujuan diluar, melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Toennies menyebutkan sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga, sahabat – sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dan lain sebagainya. Para oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya. Kata Toennies, “prototype semua persekutuan hidup yang dinamakan “Gemeinschaft” itu keluarga. Ketiga soko guru yang menyokong Gemeinschaft ialah :
a) Darah
b) Tempat tinggal atau tanah
c) Jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan, dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh keluarga. Unsur yang pertama bersifat konstitutif
Gesselschaft tipe asosiasi dimana relasi – relasi kebersamaan dan kebersatuan antara orang berasal dari faktor–faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang – undang dan sebagainya. Kata Toennies, “Teori Gesellschaft berhubung dengan perjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atas cara buatan (artificial). Kalau dilihat sepintas – lalu saja, kumpulan itu mirip dengan Gemeinschsft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu, sekalipun ada factor – factor yang memisahkan, sedang dalam Gesellschaft pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dari yang lain.
Toennies memakai istilah “hidup yang organis dan nyata (real)” untuk relasi – relasi yang berlaku di dalam Gemeinschaft, dan istilah dalam Gesellschaft. Yang pertama membentuk suatu kesatuan hidup, dimana unsure kesatuan dan kolektifitas lebih menonjol. Pola interaksi yang berlaku dalam Gemeinschaft dan pola yang berlaku dalam Gesellschaft tidak saling menolak atau bertentangan satu terhadap yang lain.
C. Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tonnies memiliki teori yang penting yang berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat.
Sedang Gesellschaft merupakan sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.
Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan dan pertolongan. Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di Yogyakarta.
2) Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW.
3) Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama.
Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Oleh Tonnies juga dikatakan bahwa suatu paguyuban (gemeinschaft) mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut.
1. Intimate, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra
2. Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja
3. Exclusive, yaitu hubungan itu hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang diluar”kita”
Di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara anggota suatu paguyuban, pertentangan tersebut tidak akan dapat diatasi dalam suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan yang menyeluruh antara anggota-anggotanya. Tak mungkin suatu pertentangan yang kecil diatasi karena pertentangan tersebut akan menjalar kebidang-bidang lainnya. Keadaan yang agak berbeda akan dijumpai pada petembayan atau gesselschaft, dimana terdapat public life yang artinya bahwa hubunganya bersifat untuk semua orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan kami” menjadi kabur. Pertentangan-pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu sehingga suatu persoalan dapat dialokasikan.
D. Ferdinand Tonnies dan Evolusi tanpa Kemajuan
Durkheim menjelaskan tipologi perubahan masyarakat dengan membuat perbandingan “solidaritas mekanik” dan “solidaritas organik”, Spencer membuat tipe “masyarakat militer” vs “masyarakat industri”, Weber yang membagi “masyarakat agraris tradisional” dengan “masyarakat kapitalis”. Maka dibawah ini adalah tabel dikotomi serupa yang disajikan oleh Tonnies dalam Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887). Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer). Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat modern (Gesellschaft). Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi (Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Dan dibawah ini adalah pemaparan Tonnies tentang perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah memperburuk, menurut dirinya.
Ciri Gemeinschaft(komunitas) Gesellschaft (masyarakat modern)
Hubungan sosial Ikatan Keluarga Pertukaran ekonomi
Institusi khas Keluarga Negara dan ekonomi
Citra tentang individu Kedirian Orang, warga
Bentuk kekayaan Tanah Uang
Tipe hukum Hukum keluarga Hukum kontrak
Institusi sosial Desa Kota
Kontrol sosial Adat dan agama Hukum dan pendapat umum
Ciri dari Gemeinschaft yaitu berbentuk komunitas sedangkan ciri dari Gesellschaft yaitu masyarakat modern
Tentang hal ini pula secara tidak langsung bagi Tonies faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat dimana prinsip evolusi yang ia miliki hampir sama dan senada dengan prinsip evolusi ahli lain seperti Max Weber begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantara penyebab terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berfikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan dan sistem organisasi. Sebagai contoh kasus ialah adanya suatu masyarakat bernama kampung Ambon di daerah Bekasi, dimana asalnya sebuah komunitas tersebut merupakan hanya kaum urban yang datang dari Ambon dan sekitarnya untuk mencari penghasilan dengan bekerja seadanya, namun seiring dengan perubahan masa, waktu dan zaman urbanisasi yang datang dari daerah tersebut semakin banyak dan mengikuti pendahulunya yang lain untuk menempati lokasi yang sama. Sehingga saat ini terbentuklan suatu masyarakat Ambon yang datang ke Jakarta setelah sebelumnya hanya sebuah komunitas belaka.
KESIMPULAN
Ferdinand Tonnies adalah seorang sosiolog yang lahir di Schleswig, Jerman Timur pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Sepanjang hidupnya ia bekerja di universitas kota Kiel. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Ferdinand Tonnies merupakan tokoh sosiologi yang mencetuskan teori Gemeinschaft dan Gesellschaft pada sekitar tahun 1988 dimana teori tersebut disambut dengan baik oleh kalangan masyarakat baik dari gereja. Tonnies yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Beliau meruakan contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan, perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah yang lebih buruk, menurut dirinya. Ciri dari Gemeinschaft yaitu berbentuk komunitas sedangkan ciri dari Gesellschaft yaitu masyarakat modern.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan menurut UU Sisdiknas
Karena UU Sisdiknas itu puanjang...aku kutipin sebagian tentang pengertian dan tujuan pendidikan menurut UU RI No 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan Pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26. Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
DEMOKRASI PENDIDIKAN MENURUT JOHN DEWEY
Pendidikan memiliki ruang lingkup yang amat sangat luas. Hal tersebut dikarenakan pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia.[1] Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.[2] Hal tersebut disebabkan karena pendidikan merupakan dasar kesuksesan bagi individu dan masyarakat.[3] Secara umum ada pandangan teoritis umum tujuan pendidikan, pertama pandangan yang berorientasi pada kemasyarakatan dan yang kedua lebih berorientasi pada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.[4] Oleh karena itu mengapa pemerintah di negara-negara maju sangat memperhatikan pendidikan. Hal itu disebabkan oleh anggapan mereka tentang adanya kekuatan besar dalam pendidikan untuk meningkatkan kemampuan individu dan juga masyarakat dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.[5]
Dalam persepektif ini pendidikan merupakan usaha manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda untuk mengubah dan meningkatkan.[6] Pendidikan ditinjau dari segi usaha meningkatkan kemampuan individu khususnya anak adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[7] Para tokoh UNESCO menemukan pengertian pendidikan sebagai “ education is now engaged is preparinment for a tipe society which does not yet exist ”, atau pendidikan sekarang ini sibuk mempersiapkan manusia bagi suatu tipe masyarakat yang belum ada.[8] Menurut Garten. V. Good dalam dictionary of education pendidikan mengandung pengertian sebagai suatu proses perkembangan kecakapan seorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakat dan professional dimana seorang dipengaruhi oleh suatu yang terpimpin.[9]
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh orang dewasa secara sadar yang telah memiliki dasar pengetahuan hidup yang lebih dari cukup untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan serta pengetahuan tentang kehidupan kepada generasi muda dalam rangka memberikan dan meningkatkan kemampuan (inside competence dan outside competence) generasi muda dalam segala segi kehidupan baik secara jasmani maupun rohani dengan berbagai sarana agar generasi muda selanjutnya lebih berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam sejarah pertumbuhan pendidikan manusia, ada satu penggal sejarah yang diwarnai dengan pertentangan antara pendidikan yang dijalankan secara demokratis dan sebaliknya yang dilaksanakan dengan otoriter.[10] Untuk itu muncullah suatu aliran progresivisme yang merupakan sebuah aliran filsafat pendidikan yang menekankan pada pentingnya pendidikan demokratis dengan tokohnya yang terkenal John Dewey subur dan berkembang di masyarakat barat.[11] John Dewey merupakan orang yang paling bertanggungjawab dalam perancangan pendidikan orang Amerika sekaligus bertanggungjawab atas kehidupan moral bangsa ini yang mana pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pengembangan progresivisme Pierce dari metode menjadi teori kebenaran, agama, dan filsafat secara umum oleh William James dengan pragmatismenya.[12] Filsafat pragmatisme dengan pandangannya terhadap ilmu (science) yang merupakan kemajuan (progress) selama sains itu selalu memperbaiki kesalahannya.[13] Hal ini telah mempangaruhi John Dewey dalam pemikirannya tentang pendidikan.
John Dewey Riwayat Hidup Dan Pemikirannya Tentang Pendidikan.
John Dewey dilahirkan pada tanggal 20 oktober 1859 disebuah daerah pertanian dekat Burlington. Vermount.[14] Dia adalah anak seorang pemilik toko di desanya.[15] Ia memperoleh pendidikan pertamanya disekolah umum Burlington, kemudian melanjutkan ke universitas Vermount, dan ketika masih menjadi seorang mahasiswa dia berteman baik dengan Prof. H. A. P. Torrey yaitu orang yang membawa dan menguraikan semacam kelompok realism yang diadopsi dari Skotlandia.[16] Setelah keluar dari Vermount pada tahun 1875, tahun 1879 Dewey menerima diploma kandidat, kemudian dia mengajar selama 3 tahun.[17] Berkat intruksi dari Torrey, ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya pada universitas John Hopkins dengan desertasinya The Psikologi Of Kant. Ia menyelesaikan program doktoral dalam bidang filsafat pada universitas tersebut pada tahun 1884.[18]
John Dewey mula-mula mengajar di Chicago kemudian di universitas Columbia New York yang memiliki satu perguruan tinggi pendidikan guru yaitu teachers college.[19] Di universitas Chicago ia menjadi ketua jurusan filsafat, psikologi, dan pedagogik, dan di universitas tersebut ia mendirikan sebuah sekolah percobaan (laboratorium sekolah) untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sekolah ini diberi nama university elementaire school dan menjadi masyhur diseluruh dunia.[20] Pada tahun 1884 ia diangkat menjadi dosen lalu asisten profesor dan profesor di universitas Michigan. Disini ia menjadi ketua jurusan filsafat sejak 1889 sampai 1894. Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi profesor filsafat di universitas Minesota.[21] Ia mengajar di universitas Columbia pada tahun 1904 sampai 1931 untuk memberikan filsafat dan pedagogik kepada akademi guru.[22] Kemudian menikah dengan Alice Chipman pada tahun 1886.[23]
Pada tahun 1905 ia pindah ke Columbia university di New York dan memberikan kuliah fisafat dan pendidikan di teacher’s college.[24] Selama di universitas ini Dewey giat dalam kegiatan-kegiatan organisasi.[25] Dan dia tinggal di New York lebih dari 40 tahun sampai pensiun dari mengajar pada tahun 1930. ia meninggal pada tanggal 1 januari 1952 di New York.[26] selama hidupnya ia banyak menorehkan karya-karya yang terkenal di dunia diantaranya My Pedagogic Creed (1897), School And Society (1899), How We Think (1910), Democracy And Education (1916),[27]The American Civil Liberties (1920), Impressions Of Sovyet Russia And The Revolutionary Word Mexico-China-Turki (1929),[28] Experience And Education (1938) dan Education Today (1940).[29]
Agar dapat memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan pengajaran perlu diketahui tentang dasar-dasar pokok dari pandangan hidupnya yang meliputi beberapa teori diantaranya:
1. Dasar pokok dari filsafatnya adalah teori evolusi Darwin yang mengatakan bahwasannya hidup ini dinamis tidak statis. Dari sini Deweymenarik kesimpulan bahwa letak puncak kemajuan itu tidak dapat diketahui terlebih dahulu, hal itu terletak dihari kemudian dan bergantung pada kemajuan masyarakat tiap masa.
2. John Dewey merupakan penganut teori pragmatisme, benar tidaknya suatu teori tergantung pada berfaedah tidaknya teori bagi manusia dalam kehidupannya.sesuai dengan hal itu maka tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil fikir yang dapat membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Dan penilaian tentang benar tidaknya sesuatu tergantung pada guna atau manfaatnya untuk masyarakat serta kemajuan.[30]
3. Dalam kejiwaan, ia menganut teori behaviorisme (tingkah laku) yang berasumsi bahwa kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam. Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi (respons) atas rangsangan (stimulus) dari luar, dan perbuatan manusia itu selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan.[31]
Menurut dasar-dasar diatas, menurut Ag. Soejono dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Dewey pendidikan itu ialah memberikan kesempatan untuk hidup dan hidup adalah menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individu maupun kelompok untuk mendapatkan pengalaman sebagai modal berharga dalam berfikir kritis, serta produktif dan berbuat susila. [32]sebenarnya pandangan-pandangan Dewey tentang pendidikan sukar diklasifikasikan kadang merupakan pengungkapan fakta, tetapi kadang ekspresi penilaian terhadap fakta. Dan fakta yang ia kemukakan ada tiga macam yaitu: hakekat manusia, masyarakat yang memiliki suatu sistem kelembagaan yang memiliki bagian-bagian yang saling bekerja sama, mengenai kondisi sekolah-sekolah.[33]
Pandangan-pandangan John Dewey terhadap pendidikan secara umum pada dasarnya adalah upaya redefinisi pendidikan dan tujuan umum pendidikan. Definisi pendidikan menurut Dewey adalah proses dimana masyarakat mengenal diri. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses agar masyarakat menjadi survival untuk menjadi kekal dan abadi. Secara khusus rekomendasi Dewey terhadap pendidikan mecakup dua hal diantaranya: Pertama. metode pendidikan. Menurut Dewey metode pendidikan adalah upaya menanamkan disiplin, tetapi bukan otoritas. Yang penting adalah mengontrol anak dari eksternal. Metode pengajaran dengan displin berarti seorang mengarahkan pelajaran dengan disiplin dengan cara: 1). Semua paksaan harus dibuang, 2). Agar dapat muncul minat, guru harus intim dengan kecakapan dan minat setiap murid, 3). Guru harus menciptakan situasi di kelas sehingga setiap orang turut berpartisipasi dalam proses belajar.
Kedua. kurikulum. Rekomendasi Dewey berkaitan dengan kurikulum tergantung pada definisinya tentang pendidikan dan pandangannya tentang tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan lembaga-lembaga yang membentuk masyarakat. Sedangkan isi pendidikan adalah mata pelajaran yang memberikan impulse kepada anak didik. Isi tersebut meliputi menejemen dan pelaksanaan semua materi pelajaran.[34]Disamping itu pandangan Dewey mencakup beberapa point yaitu:
a) Education as a necessity of life.
Dewey memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Dewey mengartikan pendidikan adalah transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Dan hidup itu sendiri pada dasarnya adalah proses perbaikan diri. maka kelestarian hidup itu hanya dapat dijaga dengan perbaikan yang konstant yaitu pendidikan.
b) Education as a social fungction.
Masyarakat disini lebih daripada sebuah tempat dan perantara interaksi watak seorang dengan lingkungan. Lingkungan sosial lebih merupakan keseluruhan aktifitas seseorang terutama dalam melakukan aktifitas fisik sebagai pengaruh salah seorang dalam kelompok tersebut. Secara gradual ini merupakan efek pendidikan. dan masing-masing individu mempunyai tujuan atau partisipasi dalam beberapa aktivitasnya.
c) Education as direction
Pada situasi sosial tertentu anak berhubungan langsung dengan perbuatan mereka. untuk apa mereka melakukan dan berbuat secara tiba-tiba. Aktivitas mereka ini secara langsung merupakan hasil dari pengertian dari partisipasi-partisipasinya. Sehingga penampilan berbeda dengan tindakan seseorang. Hal ini merupakan akhir dari sebuah tindakan sebagai pokok dari kontrol sosial secara tidak langsung. Dan sekolah merupakan kesempatan yang besar bagi penafsiran sebuah aktivitas di dalam pengajaran dan mereka mungkin memperoleh perasaan sosial atas kekuatan mereka sendiri dari materi-materi serta peralatan yang digunakan.
d) Education as growth.
Kekuatan belajar dari makna pengalaman-pengalaman adalah suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut merupakan kapasitas aktif untuk mengatur aktivitas. Dan pendidikan adalah salah satu bagian dari pertumbuhan yang mana kriteria nilai dari pendidikan persekolahan merupakan perluasaan dalam membuat efektifitas hasrat seseorang secara nyata.
e) Education as preparation.
Dewey mengatakan” preparing or getting ready for some future duty or privilege’. Pendidikan adalah mempersiapkan atau mendapatkan kesiapan untuk banyak tugas atau tanggung jawab mendatang.[35]
f) Education is unfolding.
Dewey mengatakan”the notion that education is an unfolding from within appears to have more likeness to the conception of growth which has been set forth”. Dewey lebih condong bahwa pendidikan dibentangkan dari yang nampak dan memiliki banyak kesamaan konsepsi pertumbuhan yang menjadi perlengkapan seterusnya.
g) Education as training of faculties.
“Education is the training of these faculties through repeated exercise”. Pendidikan merupakan latihan dari bagian-bagian melalui pengulangan pertanyaan.
h) Education is formation.
Pendidikan merupakan pembentukan diri. Implikasi pendidikan dari doktrin ini ialah: pertama. tindakan diri dibentuk oleh penggunaan obyek yang menimbulkan rencana dari reaksi-reaksi lain. Formasi diri ini adalah keseluruhan materi penyajian yang pantas menjadi materi pendidikan. Kedua, sejak penyajian diri mengandung penampakan bagian-bagian kontrol asimilasi dari penyajian-penyajian baru, karakter mereka sangat penting setelah efek dari penyajian – penyajian baru adalah sebagai penguat kelompok sebelumnya.
i) Education as recapitulation and restrospection.
Dewey menyatakan bahwa pendidikan harus mampu menjadikan seseorang pribadi. Individu memiliki aktivitas asal sebagai dasar kenyataan. Mereka dihasilkan dengan jalan demikian atau berasal dari satu keturunan. Belajar yang dihasilkan dari masa lampau menurut Dewey tidak akan membantu kita mengerti keadaan sekarang karena hal itu bukanlah bertujuan pada hasil. Masa kini menghasilkan masalah-masalah yang memimpinnya untuk menyelamatkan masa lampau. Masa lalu adalah sumber daya yang besar bagi imajinasi. Di sini dapat kita lihat bahwasanya pengetahuan masa lampau dan masa kini memiliki sinergisitas yang harus dipertahankan untuk mewujudkan suatu pendidikan yang lebih berhasil. Masa lalu sebagai talak ukur dalam melangkah kedepan dengan melihat aspek positif dan negative yang terjadi selama masa tersebut sedangkan pengetahuan masa kini membentuk suatu kondisi yang memunculkan dan mengkombinasikan realita yang ada. Kemudian dari kedua pengetahuan tersebut dapat ditarik benang merah yang akan memunculkan suatu teori baru yang efektif dalam pendidikan.
j) Education as reconstruction.
Pada pertumbuhan anak dan orang dewasa semua berdiri pada level pendidikan. Dan ide tentang kemajuan secara formal disimpulkan dalam pengalaman rekonstruksi yang terus menerus bagi kondisi yang akan datang. sebagai pembuka bentuk eksternal dan rekapitulasi masa lalu.[36] Tujuan pendidikan di sini haruslah memiliki dan melakukan perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik untuk menjamin kualitas suatu pendidikan dan kuantitas nilai materi dalam pendidikan tersebut.[37]
k) Education as national and as social.
Perhatian yang sistematis terhadap pendidikan merupakan makanan yang baik bagi pemulihan dan pemeliharaan integritas politik dan kekuasaan. Identifikasi dari situasi historis dapat memindahkan dorongan pendidikan suatu negara dengan nasionalistik dalam kehidupan politik. Suatu fakta membuktikan bahwa di bawah pengaruh pemikiran Jerman, pendidikan menjadi berfungsi umum dan hal ini diidentifikasikan dengan realisasi ideal suatu negara. Menurut Dewey suatu masyarakat harus mempunyai tipe pendidikan yang memberikan individu interest pribadi dalam relasi dan kontrol sosial, dan kebiasaan-kebiasaan sosial dan dirubah tanpa memperkenalkan kekacauan.[38]
Demokrasi pendidikan.
Impian adanya pendidikan bermutu hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan. Demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.[39] Suatu tatanan masyarakat yang telah memiliki sistem yang mengatur segala kegiatan dengan baik, baik kegiatan yang bersifat internal maupun ekternal. Demokrasi pendidikan dalam pengertian luas patut selalu dianalisis sehingga memberikan manfaat dalam praktik kehidupan dan pendidikan yang mengandung tiga hal. diantaranya:
1. Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia.
2. Setiap manusia memiliki perubahan kearah pemikiran yang sehat.
3. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.[40]
Dalam setiap pelaksanaan pendidikan selalu terkait dengan masalah-masalah antara lain:
1. Hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.
2. Kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan.
3. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Dari prinsip-prinsip diatas dapat dipahami bahwa ide-ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat banyak dipengaruhi oleh alam pikiran. sifat. dan jenis masyarakat dimana mereka berada. karena dalam kenyataan bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan penghidupan masyarakat.[41] Sedangkan demokrasi dalam proses pendidikan dapat diarahkan kepada pembawaan kultur dan norma keadaban. Dalam proses pembelajaran yang demokratis fungsi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator.[42]Paolo Freire menyatakan bahwa untuk mencapai demokrasi pendidikan perlu diciptakan kebebasaan interaksi antara pendidik dan peserta didiknya dalam proses belajar dikelas.[43] Jadi demokrasi pendidikan akan mendorong tumbuhnya iklim egalitarian (kesetaraan atau kesamaan derajat dalam kebersamaan) antara pendidik dan peserta didik. disamping itu demokrasi pendidikan merupakan cara yang paling strategis bagi pembentukan civil society.[44] Atau demokrasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita dan kehendak civil society.[45]
Jadi demokrasi pendidikan mengandung arti proses menuju demokrasi dalam pendidikan. Tujuan demokrasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis, dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokrasi.
Bagaimanakah demokrasi pendidikan John Dewey?
Konsep demokrasi dalam pendidikan, sebagaimana dinyatakan dewey “ individu lebih didominasi oleh hasrat alamiah. Hasrat yang tinggi ini memunculkan rasa kasihan, keramahan, serta beberapa watak yang menonjol. Hasrat alami membuat individu sebagai warga negara yang baik sebagai pembela negara, tapi keterbatasan mereka berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang merupakan sebuah kapasitas yang digenggam secara universal.[46]Hasrat yang tinggi terbentuk dalam pengalaman dan kebebasan. Dan satu-satunya kebebasan yang tetap penting adalah kebebasan intelegensi yaitu kebebasan observasi dan pertimbangan yang dilakukan atas nama sejumlah tujuan yang hakekatnya berharga. Kekeliruan yang paling sering dilakukan terhadap kebebasan adalah menyamakan dengan kebebasan bergerak atau sisi dengan sisi eksternal atau fisik dari kegiatan. Namun sisi eksternal atau fisik dari kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari sisi internal kegiatan yaitu kebebasan berfikir. berkeinginan. dan bertujuan.[47]
Keuntungan yang secara potensional dalam peningkatan kebebasan ilmiah yaitu pertama; tanpa kebebasan tersebut. tidak mungkin bagi seorang guru untuk memperoleh pengetahuan tentang semua individu yang ditanganinya. yang kedua ditemukan dalam sifat dasar dari proses belajar itu sendiri. Disinilah minat sebagai panji-panji yang mengangkat sang anak sebagai pusat pendidikan sehingga menyerukan kebebasan dan inisiatif.[48]
Dari beberapa point kebebasan yang dibawa oleh John Dewey ada beberapa konsp demokrasi pendidikan yang menjadi pokok konsep pendidikannya. diantaranya;
1. a. Kritik John Dewey terhadap filsafat dan praktek pendidikan tradisional.
Sejarah teori pendidikan ditandai oleh oposisi antara ide bahwa pendidikan merupakan pengembangan dari dalam kodrat manusia dan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan dari luar diri manusia bahwa pendidikan berdasarkan bakat alami dan bahwa pendidikan merupakan suatu proses upaya mengatasi kecenderungan alami dan mengantikannya dengan berbagai kebiasaan yang diperoleh lewat tekanan eksternal. Dan dewasa ini sekolah cenderung mengambil bentuk kontras antara gaya pendidikan tradisional dan gaya pendidikan progresif.
Ide-ide yang mendasari gaya pendidikan tradisional dirumuskan secara luas tanpa kualifikasi yang diperlukan untuk suatu pernyataan akurat. Jadi ide-idenya biasanya menyangkut materi pokok pendidikan yang terdiri dari perangkat informasi dan keterampilan yang telah dihasilkan pada masa lampau. karena itu tujuan utama sekolah ialah mewariskan segala pengetahuan tersebut kepada generasi yang baru. Dalam hal ini faktor mendasar dalam proses pendidikan adalah kondisi mengada-being-yang kuncup dan faktor lain adalah sasaran-sasaran sosial tertentu. maka nilai-nilai yang mengejawantah dalam pengalaman orang dewasa.
Kemudian ia mengkritik sekolah traditional mengenai beberapa hal. karena dianggap bukan tidak mampu menyentuh aspek-aspek pendidikan yang meliputi ranah afektif, kognitif dan psikomotorik, kritikannya tersebut diantarannya mengenai; bahan pengajaran, cara guru mengajar, cara murid belajar, dan cara menyelenggarakan sekolah. Pertama; disekolah kuno menurutnya terlalu banyak mata pelajaran yang diajarkan. karena tujuan sekolah kuno ialah agar para siswa dapat menduduki jabatan intelektual dan materio sentris.[49] Menurut dewey tidak boleh kebutuhan golongan terbesar dikalahkan oleh kebutuhan golongan yang kecil. Oleh karena itu mata pelajaran yang banyak jumlahnya dan menimbulkan pendidikan intelektualitas dan itu perlu dikurangi dan diganti dengan pengajaran dan latihan kerja.[50] Disamping itu pengetahuan yang diberikan di sekolah kuno kepada muridnya merupakan pengetahuan yang telah diolah. disiapkan. dan dipecahkan kesulitannya terlebih dahulu oleh orang dewasa. hal ini menurut dewey tidak ada gunanya karena anak mengalami proses berfikir sendiri dari permulaan hingga akhir sesuai dengan tingkat kemajuannya sendiri.[51]
Kedua kritik Dewey terhadap guru dan sarana mengajar di sekolah kun guru meilii peran yang sangat memnentukan segala sesuatu (guru-central). Jadi guru yang memaksakan bahan pengajranan kepada anak. berfikir untuk anak. memecahkan soal untuk anak. sehingga yang aktif justru sang guru bukan anak didik.[52]menurut Dewey tidak perlu adanya minat paksaan sebab kecuali minat langsung juga pada anak minat langsung dapat juga pada anak itu ditimbulkan minat yang tidak langsung.[53] Guru dalam hal ini harus hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja. pengamat tingkah laku anak untuk dapat mengetahui hal yang menarik minat anak. seperti Montessori.[54] Dan dengan perkembangan tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat minat anak.
Ketiga murid dan cara belajar. disekolah kouno muridhanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey sekolah tradisionalia namai sekolah anak, sekolah dengar, sekolah percaya, juga sekolah buku karena anak dipaksa mengambil hal yang telah dituturkan dan lengkap difikirkan untuknya dalam buku. Disini murid tidak mendapatkan kebebasan. tidak ada kesempatan untuk mengeluarkan sesuatu dengan spontan. perbuatan dan pikiran murid tergantung pada orang lain, lisan dari guru, maupun tertulis dari buku. Keadaan seperti itu wajid diubah, anak harus bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah learning by doing yang dikehendaki oleh John Dewey. Disini anak harus dididik kecerdasannya agar padanya timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berfikir secara keilmuwan, obyektif, logis, dan yang dipentingkan ialah jalan berfikir bukan hal yang difikirkan.[55]
Keempat. penyelenggaraan sekolah. alat dan peraturan yang ada di sekolah tradisional sakan-akan memaksa anak untuk pasif, perbuatan di sekolah berlangsung kaku, tidak memberikan kebebasan bertindak, bentuk bangku, gedung, rencana pelajaran, semuanya mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru, tidak ada kesempatan untuk mengadakan penyelidikan (survey) dan percobaan jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan dalam kelas terlalu banyak murid.[56]
Apabila kritik tersirat itu dirumuskan secara explisit, agaknya ia berbunyi seperti berikut: Pada hakekatnya pola pendidikan tradisional bersifat paksaaan dari atas dan dari luar pendidikan tradisional memaksakan seluruh norma, materi pokok pelajaran, dan metode orang dewaa kepada anak muda yang hanya dapat bertumbuh secara berlahan menuju kematangan. Jurang itu sedemikian lebarnya sehinggga materi baik pokok pelajaran, metode belajar dan bertindak yang dituntut itu menjadi asing bagi kesanggupan yang ada pada anak muda.[57]
1. b. Sekolah kerja
Timbulnya sekolah kerja adalah pelaksanaan dari aliran pendagogik yang dinamai pendagogik special.[58] Setelah timbulnya aliran nasionallisme orang berpendapat bahwa pengetahuan adalah kuasa, knowledge is power, pengajaran dan pendidikan dalam sekolah menjadi amat individualistis dan intelektualistis, dan hasilnya ialah anak didik menjadi bersifat individualistis dan masyarakat menjadi kapitalis.[59]
Kemudian aliran sosial dalam masyarakat menghendaki berubahnya masyarakat kapitalis tersebut yang sistem pengajaran dan pendidikannya. Bukan pengetahuannya tetapi keprigelan, kerja produktif, watak kesediaan mengabdi bukan pengetahuan yang berkuasa melainkan kemampuan.[60] Dan tak seorang pun menyangka bahwa bahwa seorang warga negara yang biasa yang baik de facto dikuasai oleh sejumlah kontrol sosial dengan sejumlah kontrol sosial itu tidak terasa pembatasan terhadap kebebasan pribadi.[61]
Jadi yang dimaksud dengan sekolah kerja ialah sekolah yang pusatnya terletak pada keaktifan pribadi anak, jasmani maupun rohani dan dasar sekolah kerja pada umumnya bertentangan dengan dasar sekolah lama, konfendional, Sedangkan dasar-dasar sekolah kerja diantaranya:
1. Dalam sekolah kerja anak harus aktif berbuat. mengamati sendiri, mencari jalan pemecahan sendiri dalam kesukaran, memikirkan, dan memecahkan sendiri yang dihadapi dan berinisiatif.
2. Pangkal dan tujuan usaha pendidikan dan pengajaran harus terletak pada anak itu sendiri, tidak pada metode, bahan pengajaran atau guru.[62]
3. Sekolah kerja mendidik murid agar menjadi suatu kepribadian yang berani berdiri sendiri, bertanggung jawab untuk menjadi anggota yang baik dari suatu masyarakat. Inilah segi sosialnya.
4. Bahan pengajaran tidak diberikan terpisah-pisah melainkan sebagai suatu keseluruhan atai totalitas dengan suatu masalah hidup sebagai pusat.
5. Sekolah kerja tidak menginginkan pengetahuan sedia yang sebanyak-banyaknya yang diperoleh dengan hafalan dan menirukan, tetapi menghendaki pengetahuan dan keprigelan.[63]
6. Sekolah kerja menganggap bahwa pendidikan fikir tidak ada gunanya. tetapi anak harus dididik berfikir dengan mengalami seniri proses berfikir secara kanak-kanak.
7. Pendidikan akhlak merupakan suatu segi penting dalam pendidikan sosial. maka sekolah kerja harus merupakan suatu masyarakat, tempat mendapatkan latihan dan pengalaman yang amat penting artinya untuk pendidikan sosial, watak dan kecerdasan.
8. Sekolah kerja mendidik anak melalui berbagai ketrampilan agar suka bekerja produktif sesuai dengan bakatnya.[64]
Dari dasar-dasar diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya sekolah kerja yang merupakan perwujudan dari progresivisme pendidikan mempunyai keterikatan yang kuat dengan masyarakat dan upaya mengembangkannya melalui generasi mudanya. Karena bagaimanapun masyarakat tidak mampu mengadakan kegiatan pendidikan tanpa adanya sebuah intisari dengan tujuan tertentu begitu juga lembaga sekolah harus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat karena hal ini merupakan aturan yang benar untuk bekerja dengan baik.[65]
Keterangan-keterangan diatas merupakan gambaran tentang sekolah kerja. Sekolah kerja menurut John Dewey umumnya disebut pengajaran proyek atau metode soal maupun masalah. John Dewey yang menanamkan benih-benihnya tetapi yang menumbuhkan dasar itu menjadi suatu sistem pengajaran proyek atau metode (problem) itu ialah W.H. Kilpatrick.[66]
Pendidikan menurut Dewey ialah memberikan kesempatan untuk hidup. Hidup ini menyesuaikan diri dengan menyesuaikan diri dengan masyarakat, kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individual maupun rombongan untuk mendapatkan pengalaman sebagai suatu modal berharga dalam berfikir kritis serta produktif dengan berbuat susila. Dan sekolah yang dikehendaki oleh John Dewey adalah sekolah kerja dimana masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yan dibutuhkan oleh warganya unutk pendidikan agar tidak tergantung kepada dogma, melainkan pada cara berfikir bebas, berdisiplin, obyektif, kreatif dan dinamis.[67]
Disamping itu betapa pentingnya arti bekerja menurut Dewey, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman menuntunberfikir seseorang sehingga orang tersebut dapat bertindak benar dan bijaksana, pengalaman juga mempengaruhi budi pekerti seseorang, pengalaman itu sendiri terbagi menjadi pengalaman positif dan negatif.[68]
Kedua aspek inilah yang telah mendasari konsep sekolah kerja menurut john dewey yang pada dasarnya sekolah kerja menurutnya berdasarkan atas dua segi yaitu segi psikologis dan segi sosiologis.
1. 1. Dasar psikologis.
Yang termasuk dalam dasar psikologisnya diantaranya: cara memberikan pelajaran wajib disesuaikan dengan tingkatan perkembangan. cara berfikir. dan cara bekerja anak. Penentuan bahan pelajaran juga wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak sebagai akibat dari instingnya. Dewey mengenal 4 insting yaitu: 1). Insting sosial, 2). Insting membentuk dan membangun, 3). Insting menyelidiki, 4). Insting kesenian.
a) Insting sosial
Yang dimaksud dengan insting sosial adalah keinginan anak untuk mengadakan hubungan dengan orang disekitarnya. Ini dapat dilihat pada waktu anak bermain. Mereka bermain sebuah permainan bersama-sama dengan teman bermainnya. Frobel mengatakan bahwa teman adalah alat permainan yang terbaik. Disamping permainan masih ada alat penghubung sosial yang digunakan dalam pergaulan yaitu bahasa.[69] Bahasa tidak hanya merupakan suatu alat penghubung dalam pergaulan semasa anak hidup tetapi juga alat penghubung dengan generasi yang lampau dan generasi yang akan datang. Berhubung dengan insting sosial ini anak perlu diberi banyak kesempatan untuk bekerja bersama-sama dengan menggunakan bahasa sebaik-baiknya.[70]
b) Insting membangun dan membentuk.
Insting membangun dan membentuk dapat dilihat ketika anak bermain-main. Mereka membuat kolam, jembatan, rumah, roti, dan lain-lain dengan bahan yang belum berbentuk separti pasir, tanah, kayu, air dan sebagainya untuk kemudian dirusak, diperbaiki dan dirusak lagi.[71] Juga dalam hal insting membentuk pada anak. Dewey sependirian dengan Frobel.[72]
c) Insting menyelidiki.
Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Ia ingin mengetahui apa sebabnya mobilnya dapat berjalan, apakah isi perahunya, apakah bonekanya juga berdarah seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya. [73]
d) Insting kesenian.
Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannya agar menjadi lebih baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru saja selesai tidak ditinggalkan begitu saja. rumah itu dihiasi dengan berbagai alat, bendera, daun, bunga, tanaman, gambaran, dan lain sebagainya. Kesukaan anak untuk menari, menyanyi, menggambar dengan warna menmbah bukti bahwa pada anak ada insting kesenian itu.
1. 2. Dasar sosiologis.
Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu. Jika bahan pegajaran diambil dar masyarakat dan pengajarannya dilangsungkan di tengah masyarakat maka dapat dikatakan bahwa pengajaran dijalankan oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan dalam masyarakat.[74] Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu (anak) harus diabdikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka dari itu pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah sesuatu lembaga sosial.[75]
Berdasarkan sekolah kerja yang ia prakarsainya, masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendidikan warganya. Dan materi pelajaran disekolah harus diberikan secara terpadu dan dipraktekkan dalam masyarakat anak untuk memenuhi kebutuhannya. Pengalaman anak yang diperoleh di sekolah seharusnya dipakai untuk hidup dalam masyarakatnya dikemudian hari. Kehidupan seharusnya menjadi pusat bahan pengajaran (life central education).[76]
Dalam kaitannya dengan bahan pelajaran. sekolah kerja mengajak kita untuk mengingat sifat manusia, minat dicoba ditarik ke arah hal-hal yang menyenangkan, pada kenikmatan-kenikmatan yang langsung dan tidak pada rasa sakit atau penderitaan lain. Dan jalan keluarnya adalah dengan mempsikologikan bahan pelajaran, mengubah bahan-bahan pelajaran, mengembangkannya di dalam bentangan dan batasan-batasan wilayah kehidupan anak dengan membiarkan saja pelajaran apa adanya dan memakai metode tipuan untuk membangkitkan minat pada pelajaran- bukannya mempelajari apa yang diminati berusaha membuat pelajaran menjadi menarik- bukannya minat itu menentukan pelajaran.[77]
Berangkat dari hal diatas diketahui bahwasannya kekuatan-kekuatan anak saat ini yang harus mengemuka. potensi-potensinya saat ini mesti dilatih, sikap-sikapnya perlu diujudkan.[78] Disinilah letak tugas guru yang formil yang cenderung hanya mengembangkan minat. Sehingga mata pelajaran yang diberikan berpusat pada masalah yang bernilai fungsional untuk anak. Dengan jalan itu tidak akan terpisah antara teori dan prakteknya, sekolah dan masyarakat anak.[79]
Pada tahun 1896 Dewey memaklumkan dan mengusulkan suatu gagasan mengenai sekolah yang akan mendekatkan berbagai upaya teoritis dengan berbagai tuntunan praktis sebagai komponen yang paling esensial dari fakultas ilmu pendidikan.[80] Inilah awal penerapan sekolah kerja menurutnya. Yang menjadi inti kurikulum Dewey adalah apa yang disebut okupasi. yaitu suatu kegiatan anak yang meniru atau berfungsi secara paralel dengan berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sosial orang dewasa.[81] Kegiatan okupasional memiliki dua arah yaitu: terarah kepada studi ilmiah mengenai berbagai material dan proses yang terlibat dalam cara berfungsinya materi itu dan peran mereka di dalam masyarakat dan budaya. Maka dari itu fokus tematik bagi semua okupasi bukan hanya sebagai kesempatan untuk berbagai latihan manual dan studi sejarah melainkan juga untuk pengetahuan matematika, geologi, fisika, biologi, kimia, membaca, seni musik, dan bahasa.[82]
Dalam contoh sekolah diatas kita tidak hanya melihat bagaimana minat anak terhadap aktivitas khususnya sendiri (membuat kebun), melainkan bagaimana cara membuat sesuatu memungkinkan si anak berkenalan dengan berbagai metode pemecahan masalah ekperiemental dimana kesalahan merupakan bagian penting dari suatu proses belajar. Menyajikan kepada anak pengalaman langsung disertai berbagai situasi problematik yang mereka ciptakan sendiri.[83] Jadi sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahannya agar anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pengajaran wajib disesuaikan dengan tujuan itu. Antara berbagai tingkatan sekolah dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi harus ada satu organisasi yang sama.[84]
1. Pendidikan sosial dan kesusilaan.
Salah satu letak demokrasi pendidikan menurut Dewey terdapat pada pendidikan sosial dan kesusilaan yang ia gagaskan. Di sekolah Dewey tidak diutamakan kecerdasan walaupun kecerdasan penting tetapi bukan yang utama. Pendidikan kemasyarakatan dan kesusilaan menurut dewey amat erat hubungannya.[85] Disinilah sebuah sekolah harus merupakan suatu masyarakat kanak-kanak yang sesuai dengan tingkatan kemajuan anak.[86]
Bekerja sendiri dan bersama-sama disamping mengandung pendidikan kecerdasanyang amat penting artinya untuk pendidikan sosial juga merupakan pendidikan budi pekerti atau kesusilaan. Dewey merendahkan sekali pendidikan kesusilaan yang diberikan hanya dengan memberitahu dan menyuruh percaya pada dogma kesusilaan yaitu apa yang dinamai luhur dan apa yang dinamai hina. Pengalaman anak dalam bekerja harus dapat menumbuhkan pengertian dan minat terhadap kaidah hina dan luhur itu dan juga menimbulkan hasrat untuk berbuat luhur serta menghindari perbuatan hina.[87]
Tetapi pengertian minat dan hasrat belum cukup. Yang terpenting adalah perbuatan luhur.[88] Dengan bekerja sendiri dan bersama (memasak, memital, menenun, dan lain-lain) akan sampai pada kemampuan menyusun pembagian pekerjaan yang baik, memilih pemimpin dan penolongnya, bekerja bergotong royang, bersaing secara sehat, juga akan timbul suasana saling menceritakan pengalaman dan bertukar pikiran sehingga terciptalah tata tertib batin yaitu tata tertib atas dasar keinsyafan.[89]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar